Climate Justice | January 4, 2024
Pesisir Menggugat: Keadilan bagi Masyarakat dan Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Humanis Foundation
Penulis: Karunia Haganta
Penyunting: Fadilla D Putri, Nisrina Nadhifah
Penafian: sejumlah nama dalam artikel ini ditulis berupa inisial atas alasan keamanan.
Dengan visinya sebagai “Poros Maritim Dunia”, pemerintahan Joko Widodo yang telah berjalan hampir 10 tahun ternyata belum mampu menyejahterakan garda terdepan maritim, yakni masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebaliknya, sederetan regulasi yang dibuat justru merugikan mereka. Regulasi ini hadir di berbagai tingkat, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, sampai peraturan menteri. Padahal, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi yang paling terdepan dalam menghadapi dampak krisis iklim yang juga diklaim sebagai perhatian pemerintah. Namun, sekali lagi, klaim pemerintah berlaku sebaliknya. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhimpit aturan yang merugikan dan krisis iklim yang membuat mereka makin rentan. Pihak-pihak seperti perempuan dan orang muda mengalami marginalisasi yang makin berlapis.
Hal ini yang menjadi urgensi diadakannya “Simposium Masyarakat dan Perempuan Pesisir Indonesia Melawan Pertambangan Pasir Laut dan Krisis Iklim”. Simposium ini dilaksanakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebagai bagian dari konsorsium FOCUS, pada tanggal 18-20 Desember 2023 di Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan 11 Eksekutif Daerah WALHI dan perwakilan masyarakat pesisir, termasuk perempuan dan orang muda, baik dari wilayah Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan Maluku Utara.
Simposium ini menekankan isu tambang pasir laut sebagai respons terhadap penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan ini sesungguhnya hanya satu dari sekian banyak regulasi yang merugikan masyarakat pesisir. Aturan lain, seperti UU Cipta Kerja; UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut; dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi. Aturan-aturan ini adalah yang dikeluhkan oleh masyarakat pesisir sebagai potensi ancaman bagi kehidupan mereka dalam Simposium ini.
Meski nama atau judul dari aturan-aturan tersebut terlihat netral atau bahkan terkesan menguntungkan masyarakat, namun kenyataannya dalam isi dan implementasinya, aturan-aturan tersebut justru menjadi legitimasi baik oleh pemerintah maupun korporasi untuk bertindak eksploitatif pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam komentarnya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Dedi S. Adhuri (Peneliti Senior BRIN) menyatakan bahwa aturan ini rentan menjadi legitimasi perampasan kawasan pesisir (marine grabbing). Penggunaan istilah sedimentasi laut sebagai sumber daya dapat dipelintir untuk mengeksploitasi pesisir, khususnya melalui kegiatan penambangan pasir laut. Perwakilan warga dampingan Walhi dari berbagai daerah, seperti Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, sampai Lombok, NTB menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi ancaman ini. A dari Lombok dan U dari Riau menyatakan bahwa penambangan pasir laut berpotensi merusak pesisir, khususnya wilayah tangkap nelayan dan gosong pasir yang berfungsi sebagai pemecah ombak.
Ketidakadilan ini juga tidak hanya hadir di ranah aturan, tetapi juga pada perencanaan. Fikerman Saragih (Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA) mempresentasikan penelitiannya bersama Parid Ridwanuddin (Manajer Kampanye Laut dan Pesisir Walhi Eksekutif Nasional) mengenai Peraturan Daerah RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) di 28 provinsi di Indonesia. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mangrove dan nelayan mengalami marginalisasi karena adanya RZWP3K yang tidak mengalokasikan ruang untuk pemukiman nelayan atau mangrove. Marginalisasi ini makin jelas ketika alokasi ruang untuk nelayan dan mangrove dibandingkan dengan alokasi untuk industri ekstraktif yang amat timpang. Alokasi untuk nelayan dan mangrove hanya seluas 53.712,81 hektare, sedangkan alokasi untuk reklamasi serta industri ekstraktif seperti pertambangan pasir laut berjumlah 3.590.883,22 hektare.
Kehadiran industri ekstraktif merupakan lapisan tambahan bagi marginalisasi perempuan pesisir. S, perempuan nelayan dari Kodingareng, Sulawesi Selatan, menceritakan kehadiran perusahaan tambang pasir laut yang merugikan masyarakat. Meski kegiatannya sudah berhenti, dampaknya seperti abrasi dan air keruh masih terasa. Sebelum ditutup, protes warga dihadapi dengan kekerasan karena perlawanan warga dianggap merugikan perusahaan. Kisah serupa diceritakan Z, perempuan nelayan dari Seluma, Bengkulu. Konflik masyarakat dengan tambang pasir laut terjadi sejak 2010. Protes warga juga dihadapi dengan kekerasan, termasuk pengerahan polisi yang membuat seorang anak menjadi trauma serta kriminalisasi melalui penahanan sembilan orang. Keduanya menunjukkan bahwa eksistensi perempuan nelayan nyata adanya dan bahkan terlibat dengan gerakan melawan ketidakadilan. Kisah keterlibatan perempuan nelayan juga diceritakan A dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta yang juga bagian dari penggugat sebuah perusahaan di pengadilan Swiss. Masyarakat Pulau Pari menghadapi ancaman krisis iklim dan swastanisasi pulau.
“70% warga Kodingareng sudah merantau, mereka terlilit hutang demi bertahan hidup, dan tidak tahu cara membayarnya. Semakin banyak anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu bayar.” – S, Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan
Keterlibatan erat perempuan nelayan dengan gerakan-gerakan tersebut dinyatakan Fadilla, GESI Specialist, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial sebagai bukti untuk mendesak diakuinya eksistensi perempuan nelayan. Selama ini, kerja perempuan nelayan dianggap sebagai “bantu-bantu” sehingga tidak memperoleh pengakuan yang cukup. Padahal, mereka amat terlibat dan bahkan menjadi pihak yang paling terdampak dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan serta krisis iklim. Marginalisasi masyarakat pesisir yang berlapis dan disertai dengan krisis iklim juga berpotensi menciptakan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan bertambahnya angka putus sekolah.
Bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya, dan nelayan pada khususnya, krisis ekologis adalah krisis multidimensional yang memiliki dampak berantai. Namun, krisis iklim bukanlah satu-satunya ancaman. Pak B dari Pulau Pari menceritakan bahwa krisis iklim sudah sangat mengancam kehidupan masyarakat Pulau Pari. Masyarakat masih berusaha bertahan dengan beralih mata pencaharian melalui perkebunan. Mangrove yang berfungsi sebagai pelindung pulau juga berfungsi menjadi sumber daya ekonomi bagi mereka.
Lain lagi di Rempang, Kepulauan Riau, yang kondisinya belum terlalu terpengaruh krisis iklim, tetapi berada dalam ancaman proyek Eco City. Proyek ini, seperti diceritakan N dan M, akan mengancam 17 ribu hektare mangrove dan mata pencaharian penduduk Rempang. Di Semarang, kelingan proyek dan krisis iklim telah terjadi. Pak M menyebutkan bahwa pesisir Semarang sudah mulai terkikis dan nyaris tanpa perlindungan mangrove. Ini diperparah dengan kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) Tol Tanggul Laut Semarang Demak, terlepas dari sudah banyaknya desa yang tenggelam. Di Bali, A menceritakan bahwa warga masih harus mempertahankan wilayah yang sebelumnya masuk zonasi konservasi dari penyalahgunaan wewenang mengatur zonasi tersebut. Pasalnya, zonasi konservasi tersebut justru diubah menjadi terminal liquefied natural gas (LNG). Ancaman lain adalah proyek yang juga mengancam mangrove.
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil jelas tidak tinggal diam. Pada hari kedua Simposium, melalui FGD, masyarakat merumuskan juga langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh. Pak B dari Pulau Pari menjelaskan langkah-langkah seperti menanam, musyawarah, mengedukasi warga lain mengenai krisis iklim, serta penguatan ekonomi seperti melalui kebun dan pemanfaatan mangrove karena perlawanan juga butuh “biaya”. J dari Bangka Tengah menceritakan bahwa masyarakat telah melakukan RDP di tingkat kabupaten/kota mengenai proyek PLTN dan penambangan timah. Rencananya, RDP ini akan dilanjutkan ke tingkat provinsi karena laut 0-12 mil adalah wewenang provinsi. Masyarakat, khususnya nelayan, berpotensi dirugikan karena proyek-proyek tersebut mencakup wilayah tangkap dan tempat singgah nelayan. U dari Riau dan Pak M dari Semarang masih terus menggalang kekuatan dari jaringan seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama) dan tokoh masyarakat. Di Seluma, Bengkulu, seperti diceritakan R, advokasi juga dilakukan melalui Walhi ke Dinas Pekerjaan Umum dan Daerah Aliran Sungai (DAS) karena abrasi yang makin parah dan mulai sampai ke pemukiman warga.
Di Kodingareng dan Lombok, masyarakat harus berhadapan dengan korporasi. E, pendamping di Pasir Besi, Lombok, menyatakan bahwa gerakan masyarakat telah terhimpun melalui GARAP NTB serta membuktikan bermasalahnya izin perusahaan dengan kerugian, yang berdasarkan perhitungan masyarakat, mencapai Rp30,6 miliar. Selain jalur hukum, di Kodingareng, jalur yang ditempuh juga melalui aksi langsung (direct action) seperti mengebom kapal perusahaan. Di Lampung Timur, seperti diceritakan S, aksi langsung dilakukan dengan membakar tongkang karena tidak adanya saluran untuk melapor, meski warga 11 desa telah bersatu. Masyarakat kemudian mempertanyakan penegakan hukum karena tidak adanya keberpihakan terhadap mereka. S dari Lampung Timur menceritakan bahwa masyarakat telah ditipu dengan proyek penambangan pasir laut yang awalnya diklaim sebagai normalisasi sungai. Namun, protes masyarakat justru dikriminalisasi. Keresahan ini juga timbul di Rempang sehingga bersama dengan LBH, masyarakat Rempang telah membentuk delapan posko bantuan hukum dengan wakil dari delapan desa dan terus mengajak wakil dari desa-desa lain.
Segala permasalahan ini menjadi landasan dalam menyusun Deklarasi Masyarakat dan Perempuan Pesisir Pulihkan Indonesia dan Menuntut Keadilan Iklim. Deklarasi ini mencakup 17 poin masalah yang merangkum suara-suara masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di atas ketidakadilan iklim, kebijakan, dan tindakan korporasi. Deklarasi juga berisi 10 poin desakan terhadap pemerintah pusat dan daerah, legislatif, serta calon presiden dan wakil presiden yang sedang berkontestasi. Kesepuluh poin ini menuntut tindakan afirmatif bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk perempuan dan orang muda, serta tindakan korektif terhadap aturan-aturan yang merugikan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Deklarasi dapat diakses melalui tautan ini.