Climate Justice | March 8, 2024
Yasinta Adoe: Perjuangan Perempuan Nelayan Menghadapi Krisis Iklim
Humanis Foundation
Banyak orang di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur sedang terlelap pada tengah malam, 4 April 2021. Warga Kupang baru lepas dari sukacita perayaan Paskah. Sehari sebelumnya, Malam Sabtu Suci baru saja dilewati. Hari itu harusnya terlewati sebagai momen bahagia; hingga tengah malam tiba, dan Siklon Seroja berkelebat di provinsi yang memiliki lebih dari 500 pulau tersebut.
Itu tengah malam yang mencekam. Listrik padam. Langit gelap gulita. Angin kencang. Hujan lebat. Banjir bandang. Gelombang laut mengamuk.
Siklon Seroja, merujuk data ASEAN Disaster Information Network, telah mengakibatkan 181 orang meninggal dunia, 184 orang terluka, 26 orang hilang, 50 ribu orang kehilangan rumah, 466 ribu orang terkena dampaknya.
Warga Kupang tentu tak akan pernah lupa dengan siklon tropis terbesar ketiga di kawasan Indonesia Timur dan Australia itu. Termasuk Yasinta Adoe, perempuan berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai nelayan.
“Katong punya perahu dan alat tangkap habis semua. Nelayan ini sudah menjadi korban, dan harus menanggung situasi berat seperti kehilangan perahu dan alat tangkap. Kami harus mulai dari nol,” cerita perempuan yang tinggal di kawasan Pasir Panjang, satu pantai nan kesohor di sentral Kota Kupang.
Ibu tiga anak ini kini aktif bergiat dalam Majelis Nelayan Bersatu, sebuah organisasi yang mempersatukan kelompok-kelompok nelayan di beberapa kawasan pesisir Kota Kupang. Organisasi ini aktif mengadvokasi hak-hak para nelayan. Pun tak sekadar pemenuhan hak, Majelis Nelayan Bersatu juga melihat masalah-masalah yang menimpa para nelayan tak bisa dilepaskan dari kerangka besar krisis iklim.
Siklon Seroja, di mata mereka, merupakan dampak nyata dari krisis iklim. Hal itu senada dengan pandangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang menyebut Siklon Seroja sebagai contoh nyata imbas perubahan iklim di Indonesia.
Siklon Seroja masuk kategori bencana hidrometeorologi. Jenis katastrofe ini memang mendominasi (90%) peristiwa bencana di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Istilah hidrometeorologi merujuk pada bencana alam yang terjadi di atmosfir (meteorologi), air (hidrologi), dan lautan (oceanografi). Bencana hidrometeorologi ini kerap dipicu oleh cuaca ekstrem yang berpangkal pada krisis iklim.
Yasinta pun menyebut Siklon Seroja sebagai salah satu dari sekian masalah terkait iklim yang dirasakan oleh nelayan di Kupang. “Beberapa tahun terakhir, cuaca di sini jadi tidak menentu. Katong jadi susah melaut,” ujar Yasinta.
Para perempuan nelayan di Pasir Panjang selama ini menyandarkan hidup pada hasil laut. Dahulu, mereka bisa kapan saja melaut ke Pulau Kepa, sebuah nusa yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari pesisir Kupang bila pakai perahu motor kecil.
Di pulau tersebut, para perempuan nelayan kerap mengambil rumput laut organik, dan mencari hasil laut lain seperti ikan serta gurita. Problemnya, kini Yasinta dan rekan-rekan cuman bisa empat kali dalam sebulan melaut ke Pulau Kepa (maksimal). “Angin tidak menentu. Ombak tinggi-tinggi. Jadi susah melaut,” kata Yasinta. “Masalah cuaca yang susah diprediksi inikan dampak dari krisis iklim.”
Lantaran itu para perempuan nelayan di Pasir Panjang juga hanya bisa empat kali berjualan hasil laut dalam sebulan. Mereka berjualan pada satu tanah kosong di kawasan Pasir Panjang, bersemuka persis dengan Sotis, satu hotel bintang empat nan kesohor di Kupang.
Alhasil, demi menambal kehidupan sehari-hari, para perempuan nelayan ini harus mencari alternatif penghasilan. Banyak dari mereka memilih untuk berjualan kopi dan jagung bakar untuk para pengunjung di Pantai Pasir Panjang, yang memang kerap jadi satu titik lokasi wisata di tengah Kota Kupang.
***
Saban pergi melaut, Yasinta dan rekan-rekannya akan menumpang sebuah perahu motor kecil yang mereka sewa. Sekali berangkat mereka akan berombongan sebanyak 10 orang. Ongkos sewa perahu bisa mencapai Rp300 ribu untuk sekali jalan, yang dibayarkan dengan cara patungan. Biaya itu termasuk dengan jasa juru mudi perahu, bahan bakar, dan logistik selama melaut.
“Katong punya perahu rusak karena Seroja. Jadi katong sewa perahu. Kalau mau buat perahu, katong butuh modal, makanya butuh pinjaman dengan bunga ringan atau nol persen. Dan, kalau tidak dilindungi dengan pemecah ombak, perahu juga cepat rusak karena kena ombak. Pemecah gelombang bisa jaga tempat parkir perahu,” demikian Yasinta menjelaskan tuntutan utama Majelis Nelayan Bersatu.
Para nelayan juga bukannya tanpa usaha untuk meminimalisir dampak krisis iklim bagi penghidupan mereka. Yasinta bilang sejak dua dekade silam, para nelayan di Pasir Panjang juga banyak menanam pohon di tepian pantai, misalnya pohon waru dan pohon bakau.
Ia ingat persis proses pohon-pohon itu bertumbuh sebab ayahnya–yang juga seorang nelayan–jadi salah seorang pelopor penanaman.
“Pohon-pohon itu sudah ada sejak 2004. Kayak Pohon Waru ini berfungsi supaya area pesisir ini tidak terlihat gersang, meminimalisir gelombang, dan bisa dipakai nelayan untuk berlindung, atau menunggu air surut. Pohon Waru ini juga bisa jadi tempat taruh atau perbaiki perahu kalau rusak,” katanya.
Yasinta dan kawan-kawannya juga punya cerita sukses saat menolak pembangunan jogging track di Pantai Pasir Panjang pada 2015. Saat itu mereka berhasil mendapatkan 1.000 tanda tangan (online dan offline) untuk petisi penolakan pembangunan jogging track di Pasir Panjang.
Rencananya, joging track ini akan menutupi area pasir di tepian pantai. Padahal pasir itu merupakan tempat tambatan perahu bagi para nelayan. “Saat itu, katong su bilang, katong tidak butuh jogging track. Katong lebih butuh pemecah gelombang,” ujar Yasinta.
Usaha Yasinta dan kawan-kawan berhasil. Jogging track tak jadi dibangun. Namun, harapan adanya pemecah gelombang hingga kini juga belum terealisasi.
Bagi Yasinta perjuangan belumlah selesai. Majelis Nelayan Bersatu hingga kini bersama dengan organisasi non pemerintah lokal seperti Yayasan Pikul yang tergabung dalam Koalisi Sipil bersama Koaksi Indonesia (mitra Yayasan Hivos-VCA) terus melakukan kerja-kerja kampanye dan lobi kepada pemerintah lokal berkenaan pemenuhan hak-hak dasar nelayan.