Uncategorized | September 3, 2024
Kita Bisa Merdeka Bersama, Kita Dapat Merdeka Jika Saling Merawat
Nisrina Nadhifah Rahman
Selalu ada nuansa yang beragam ketika membicarakan “kemerdekaan”. Di satu sisi tentu kita memiliki privilese dibanding generasi-generasi terdahulu yang bahkan tidak bisa secara bebas dan terbuka muncul dengan membawa status kebangsaan Indonesia-nya karena masih terpenjara penjajahan dan kolonialisme. Namun di sisi lain, momentum kemerdekaan Republik Indonesia juga jadi bahan refleksi kritis mengenai apa itu kemerdekaan dan kalau pun sudah “merdeka”, dari apa dan bagaimanakah?
Sore hari tanggal 18 Agustus 2024, Humanis dengan para kolaborator yaitu PurpleCode Collective, Pamflet Generasi dan Kemitraan mengadakan diskusi santai bertajuk “Swasembada Angan: Temu Akal Teknologi, Iklim dan Orang Muda Merdeka” yang merupakan bagian dari rangkaian acara Piknik Merdeka bertempat di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Foto 1. Peserta pembuatan kolase sedang mempersiapkan karyanya.
Prinsip-Prinsip Internet Feminis
Diskusi diawali dengan refleksi singkat mengenai makna “kemerdekaan” menurut tiga narasumber yang hadir, yakni Alia dari PurpleCode Collective, Cecep dari Masyarakat Adat Kasepuhan dan Arti dari Humanis. Alia membuka diskusi dengan mengenalkan Prinsip-Prinsip Internet Feminis. Prinsip-Prinsip ini merupakan sebuah hasil kerja kolaboratif para aktivis gerakan hak-hak perempuan, seksualitas, dan kebebasan internet pada tahun 2014 dan 2015 yang berkumpul dan berdiskusi dengan difasilitasi oleh Association for Progressive Communication untuk membayangkan dan merumuskan internet yang feminis.
Prinsip-Prinsip Internet Feminis ini dikelompokkan sesuai dengan lima wilayah tematik yang untuk seterusnya bisa digali secara mendalam dan dikembangkan. Dari total 17 butir prinsip, yang difokuskan oleh Alia sebagai basis diskusi kali ini adalah:
- prinsip akses: menekankan pada peran penting akses internet dan informasi, namun juga menghormati hak kelompok-kelompok tertentu yang secara sadar tidak ingin terkoneksi (right to be disconnected)
- prinsip pergerakan dan partisipasi publik: menekankan pada peran internet dan teknologi sebagai ruang politik transformatif yang memfasilitasi individu untuk membangun gerakan dan mengekspresikan diri
- prinsip anak-anak dan anak muda: menyerukan pelibatan suara anak-anak dan anak muda di ruang internet
- prinsip memori: menekankan pada hak kita untuk merawat sejarah, pengetahuan lokal, dan memori pribadi kita di ruang internet
- prinsip lingkungan hidup: menyatakan ulang makna kepedulian dan keperawatan dengan menerapkan etika perawatan kolektif (collective care) dalam pilihan-pilihan kita atas perancangan, ekstraksi, produksi, konsumsi, dan pembuangan teknologi
Foto 2. Pemantik diskusi dalam acara Piknik Merdeka
Tak hanya mengenalkan kita pada Prinsip-Prinsip Internet Feminis, Alia juga mengingatkan kita bahwa sesungguhnya dalam kehidupan keseharian, masih terdapat sejumlah ‘warisan’ watak-watak kolonialisme yang menghasilkan bentuk-bentuk penindasan-penindasan rakyat ‘gaya baru’. Gaya baru, dalam artian, penindasan masih tetap marak terjadi dan bahkan langgeng, hanya saja aktor dan bentuknya berubah dan bertransformasi.
Ketika membahas mengenai teknologi, nyatanya masih terdapat sejumlah ‘bias-bias’ dari kebanyakan warga mayoritas dan bahkan aktivis sendiri yang menganggap bahwa isu kebebasan internet dan keamanan digital harus melulu membahas hal-hal yang ‘tech banget’ dan ditunjang dengan infrastruktur maha canggih. Padahal masih ada sisi lain dari kebebasan internet yang tidak hanya membahas teknis. Ditekankan dalam prinsip internet feminis tentang pergerakan dan partisipasi publik, internet seharusnya dapat mendekatkan pihak-pihak yang paling membutuhkan kepada internet, dan memfasilitasi pihak-pihak tersebut mengekspresikan hak politiknya.
Alia membuka wawasan kita juga mengenai ‘paradoks’ aktivisme internet yang kerap menyeret penggeraknya ke risiko-risiko tak terduga. Seperti misalnya sejumlah kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang diungkap baik oleh korban langsung atau pendamping, berusaha ‘dihabisi’ oleh pihak pelaku atau pembela pelaku, serta oleh netizen-netizen lain yang membenturkan KBGO dengan sejumlah argumentasi semacam “itu urusan privat”, “tidak sesuai adat ketimuran,”, “aib kok diumbar-umbar?”, dan lain sebagainya. Yang mana, kekeliruan cara pikir menyikapi KBGO termasuk komentar-komentar semacam “halah, itu kan hanya terjadi di internet”, adalah beban tambahan psikis korban, serta hambatan tambahan bagi pendamping.
Alia menutup bagiannya dengan menggarisbawahi bahwa sejatinya Prinsip-Prinsip Internet Feminis tidak akan bisa terlaksana jika kita masih denial bahwa dunia dalam jaringan (daring) dan dunia luar jaringan (luring) tidak serta merta dapat dipisahkan. Artinya, apa yang terjadi di daring biasanya adalah cerminan atau ‘bocoran’ atas apa yang terjadi di luring, dan sebaliknya. Sehingga, khususnya ketika bicara KBGO, kekerasan-kekerasan yang dialami korban di daring, dapat dipastikan berdampak serius pada kehidupan luringnya, terutama di aspek psikososial dan bukan tidak mungkin berdampak pula pada aspek fisiknya.
Masyarakat Adat dan Teknologi
Berpindah ke narasumber lain, Cecep dari Masyarakat Adat Kasepuhan mengenalkan kita pada apa itu Masyarakat Adat Kasepuhan termasuk membuka wawasan kita bahwa di Banten Kidul (Lebak) saja, terdapat 520 kasepuhan. Banyaknya kasepuhan-kasepuhan ini memunculkan urgensi untuk dibuat forum konsolidasi antar berbagai Kasepuhan Lebak termasuk Baduy khususnya untuk membicarakan hal-hal terkait advokasi hutan adat dan bagaimana masyarakat adat menyikapi masifnya perkembangan teknologi dan modernisasi.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi berdirinya Forum Kawal (Forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak). Forum Kawal merupakan sebuah wadah bagi orang muda dan perempuan di Kasepuhan dan Baduy di Kabupaten Lebak, Banten yang bertujuan membangun solidaritas orang muda antar kasepuhan. Forum ini menjadi wadah untuk saling bertemu, saling belajar dan saling memberikan dukungan satu sama lain terutama mengenai pengakuan masyarakat adat secara kolektif. Forum Kawal memiliki beragam aktivitas dari mulai peningkatan kapasitas perempuan dan orang muda adat, pemetaan partisipatif wilayah adat, penguatan ekonomi, pengelolaan sumber mata air dan biodiversitas, serta beragam kajian dan praktik atas prinsip-prinsip Masyarakat Adat Kasepuhan yang telah diturun temurunkan dari generasi ke generasi.
Cecep menegaskan, bahwa meski beragam teknologi termasuk internet dan bentuk-bentuk modernisasi semakin lama semakin mendekat ke wilayah adat Kasepuhan Lebak, ia dan teman-temannya di Forum Kawal berupaya untuk tetap mengedepankan pengetahuan dan nilai-nilai lokal agar senantiasa bijak memanfaatkan teknologi informasi, utama dan terutama bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat.
Iklim, Teknologi, dan Hak
Arti dari Humanis semakin menyemangati diskusi dengan berbagi sejumlah pandangannya mengenai keterkaitan antara Iklim, Teknologi dan Hak untuk Merdeka. Arti mengingatkan kita bahwa “kolonialisme” dapat dengan sederhana kita bahasakan sebagai “penguasaan” atau “menguasai”. Konsep “menguasai” ini dapat dilihat dari banyaknyasumber daya termasuk sumber daya alam yang ‘dikuasai’ oleh hanya sekitar 5-10% orang terkaya di negara ini.
Oleh karenanya, saat ini dan di hari-hari mendatang menjadi sangat relevan untuk membicarakan bagaimana iklim (termasuk hak atas lingkungan hidup yang sehat dan lestari) dan kolonialisme itu berkaitan, bahwa sistem kapitalisme di level global dan nasional adalah faktor terbesar yang menghambat kita untuk sampai pada kesetaraan dan keadilan iklim, termasuk mengakses sumber-sumber daya yang dibutuhkan.
Arti juga tak ragu mengakui bahwa berkat beraneka ragam pembangunan yang digembar-gemborkan tanpa memperhitungkan risiko pada alam dan masyarakat yang menempatinya, mengakibatkan sejumlah relasi manusia dengan alam mengalami pergeseran. Dari yang tadinya “merawat’, menjadi “eksploitasi”. Dari yang tadinya “secukupnya”, menjadi “rakus”. Dari yang tadinya “berbagi”, menjadi “menguasai”.
Kelumit ini kemudian diperparah dengan tindakan negara sebagai duty bearer yang sering kali menempatkan masyarakat lokal, adat dan komunitas tradisional dalam posisi yang tidak strategis: hanya dijadikan token semata, baju adatnya dipakai dalam pidato, atau yang lebih parah dikenakan pasal-pasal represif dan dijerat hukuman.
Di sisi lain, betul bahwa tidak selamanya kerja-kerja nexus antara iklim, teknologi dan hak selalu suram. Melalui program VCA (Voices for Just Climate Action) misalnya, teman-teman pemangku hak khususnya di Kawasan Timur Indonesia yang menjadi area fokus utama VCA Indonesia, dikapasitasi dan difasilitasi untuk bisa memanfaatkan teknologi termasuk teknologi berbasis internet untuk melakukan pendokumentasian dan penyebarluasan pengetahuan praktik-praktik lokal solusi krisis iklim dan pelestarian lingkungan.
Literasi teknologi juga dilakukan untuk bisa mendukung teman-teman terutama orang muda melakukan kampanye, terhubung dan belajar satu sama lain, sekaligus mengejawantahkan Prinsip Internet Feminis antara lain Prinsip Memori dan Prinsip Pergerakan dan Partisipasi Publik. Harapannya, teknologi bisa jadi means untuk mendorong lebih dan lebih lagi partisipasi penuh dan bermakna, serta mengamplifikasi suara-suara mereka yang selama ini tidak berprivilese untuk bersuara dan didengarkan.
Di tataran yang lebih ‘radikal’, pembicaraan mengenai iklim, teknologi dan hak, juga bisa jadi mendorong kita untuk terus mengkritisi dan membongkar apa dan untuk siapa sebenarnya ‘pembangunan (development) serta apa dan untuk siapa sebenarnya ‘pertumbuhan (growth)’?
Foto 3. Peserta acara membuat Zine di Piknik Merdeka sedang menyelesaikan karyanya
Sama-Sama Resah, Sama-Sama Peduli
Pada sesi berbagi dengan peserta diskusi, beberapa teman menceritakan keresahan mereka antara lain mengenai: daerah pariwisata populer yang terus digerus sumber dayanya untuk ‘melayani’ wisatawan sehingga harus mengalami krisis termasuk krisis air. Juga soal adanya eco–ableism yakni kecenderungan gerakan ramah lingkungan yang tidak ‘ramah’ disabilitas. Dari mulai penggunaan sedotan non plastik yang ternyata menyulitkan teman-teman disabilitas bell’s palsy, hingga informasi kebencanaan dan kedaruratan iklim yang sering kali tidak aksesibel bagi disabilitas. Selain itu, ada pula keresahan mengenai bagaimana kondisi krisis iklim saat ini semakin memperkecil peluang regenerasi orang muda untuk merawat bumi, termasuk untuk menjadi nelayan dan petani.
Sebagai penutup, Humanis menyampaikan bahwa kata ‘merdeka’ yang kerap kali diidentikan dengan ‘kebebasan individu’ nyatanya harus dikaji ulang dan dicarikan alternatifnya yakni salah satunya dengan mengedepankan collective care. Hal ini bukan usulan asal melainkan buah dari sejumlah temuan dan refleksi bahwa krisis iklim adalah juga krisis kepedulian dan adalah juga krisis kemanusiaan.
Di lain sisi, selama ini pula kampanye mengenai self care dan collective care telah terlanjur dikooptasi oleh musuh kita bersama: kapitalisme. Akibatnya ‘care’ yang seharusnya mudah, murah dan terjangkau malah berubah jadi ‘kemewahan’ yang melenceng dari maksud aslinya dan hanya bisa diakses segelintir orang tertentu.
Mengutip Audre Lorde, “caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare.”, mudah-mudahan ini jadi ajakan yang mengena untuk kita memaknai kemerdekaan secara kritis, merawat manusia dan kemanusiaan berbasis empati dan kepedulian. Karena toh, kita tidak punya apa-apa selain satu sama lain.