Pesta Raya Flobamoratas 2024: Sebuah Catatan Ringan dari Maumere

Pesta Raya Flobamoratas 2024: Sebuah Catatan Ringan dari Maumere

Alfa Gumilang

Sekalipun kulitnya memang putih, tapi hari itu wajahnya terlihat lebih putih. Pucat sepertinya. Lelah dia selama berbulan-bulan menyiapkan sebuah pesta besar di Maumere, NTT. Berat badannya turun 13 kilo dalam tiga bulan terakhir.

“Brian lagi diet sekarang,” ucap Mama Loreta, orang tua dari Brian Benedicto, ketua panitia Pesta Raya Flobamoratas (PRF) 2024.

Tak ada yang membantah ucapan Mama Loreta, teman-temannya membiarkan cerita Brian diet itu hidup. Walau di belakang, teman-temannya tertawa.

Cerita lain muncul dari Imroatul Mukhlishoh yang biasa disapa Iim. Sudah lebih dari sebulan ia di pulau Flores. Bolak-balik dari Larantuka ke Maumere dengan motor tuanya. Berat badannya tak turun karena perawakannya memang sudah kurus.

“Sudah sebulan lebih belum pulang ke Jakarta. Kalau ke Magelang (rumah orang tuanya) sudah tiga bulan. Biasanya sebulan sekali ke Magelang,” ujarnya yang juga merupakan panitia PRF 2024.

Sementara Sherly Maran, panitia bagian logistik, hampir pasti di tiap waktu mengipaskan kertas ke arah leher dan kepalanya, mencoba menyejukkan diri dari 34 derajat celcius panasnya Maumere. Agnes Dau dari bagian komunikasi punya cerita sedih. Rombongannya sempat mengalami kecelakaan mobil saat menuju Maumere dari Larantuka. Tapi syukur, ia dan rombongan tak mengalami luka fisik yang serius. Nia Oy dan Miu, hampir tak terlihat sama sekali di antara kerumunan. Sebagai koordinator acara, Nia mungkin selama dua hari ia lebih banyak jungkir balik di belakang panggung. Sedangkan Miu di depan laptop mempersiapkan berbagai desain komunikasi untuk publikasi acara.

Pada acara dialog publik dan pembacaan Manifesto Suara Bae dari Timur yang dilangsungkan di kantor Bupati Sikka, seharusnya Nia menjadi MC pada saat pembacaan manifesto. Eka Putra Nggalu atau biasa dipanggil Gembul sedang mencoba microphone berbunyi dengan baik atau tidak. Ya, dia dan Komunitas Kahe adalah event organizer dari rangkaian acara PRF 2024.

“Selamat pagi,” begitu ucap gembul saat mencoba mic.

Ucapan tes mic yang salah. Semua orang yang berkumpul di depan kantor bupati terlanjur berdiri dengan posisi yang serius, semua mata juga fokus padanya.

“Lanjut, bro,” ujar Brian memberi kode pada Gembul yang kadung diperhatikan orang.

Alhasil Gembul maju ke depan membuka acara. Berdiri di tengah-tengah kerumunan rombongan besar VCA Indonesia, di antara grup sanggar seni Sato Sina yang membuka acara, dan di hadapan Plt. Bupati Sikka. Hanya dengan mengenakan kaos oblong warna biru, sepatu snekers, dan celana ¾ dengan betisnya yang terbuka.

Selalu ada cerita lucu atau seru di balik layar perhelatan besar. Cerita yang akan awet untuk diingat. Cerita yang boleh juga untuk dibagikan ke orang lain.

 

Suara Bae dari Timur

Keragaman kebudayaan dan bentangan alam yang kaya menjadi gambaran pertama ketika mendengar kata “timur” Indonesia. Bukan sekadar konotasi, tapi memang benar demikian. Satu hal yang menjadi kekuatan dari Indonesia bagian timur, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Secara kultural, masyarakat di NTT telah diwariskan kemampuan beradaptasi dengan alam oleh para leluhur. Kemampuan yang hari ini disesuaikan dan diinovasikan dengan perkembangan zaman sebagai cara untuk merespons berbagai dampak krisis iklim yang melanda NTT.

“Ada banyak aksi dan solusi iklim yang dibangun di NTT. Kami ingin mengabarkan inisiatif baik ini kepada publik,” ujar Brian dalam agenda jumpa pers di kantor Bupati Sikka, 26 September 2024.

Brian melanjutkan bahwa bagi VCA Indonesia, aksi dan solusi atas krisis iklim itu tak harus dalam bentuk yang megah. Di tingkat tapak, berbagai aksi dan solusi atas krisis iklim telah muncul. Ini yang kemudian disuarakan lebih jauh oleh VCA Indonesia, salah satunya melalui PRF.

“Melalui pendekatan seni dan budaya, kami berharap isu perubahan iklim jadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas,” sambungnya Brian.

 

***

Jelang sore, satu deret tenda di samping kiri panggung utama PRF selalu terlihat sibuk. Orang-orang mempersiapkan berbagai produk untuk dijual atau dipamerkan.

Satu piring berisi tiga bungkus ketupat sorgum, sayur jantung pisang yang dicampur parutan kelapa muda, potongan ikan asap, serta sambel, harganya Rp25.000. Sajian dalam satu piring yang mengenyangkan dan enak itu berisi ragam pangan lokal. Jika ingin tahu lebih lanjut, ada berbagai produk pertanian pangan lokal yang dipamerkan di atas meja. Di belakangnya ada banner besar berisi informasi tentang perubahan iklim yang berdampingan dengan deretan foto-foto dokumentasi mereka yang melakukan aksi-aksi iklim.

Di tenda sebelah, ada miniatur yang menggambarkan tentang Muro. Sebuah tradisi untuk menjaga ekosistem laut yang dilakukan oleh masyarakat di Lembata. Beberapa orang nampak bertanya dan berdiskusi di depan tenda tentang berbagai informasi aksi iklim yang ditampilkan. Satu buku sedikit menarik perhatian, judulnya “Modul Dasar Gender dan Perubahan Iklim”.

“Di tanah Bajawa, unsur tanahnya itu vulkanik. Tanah ini yang membuat citarasa berbeda dari kopi di Bajawa,” ujar lelaki muda yang sedang menerangkan pada orang yang sedang ingin membeli kopi.

Selain beberapa bungkus kopi, ada pula ragam kerajinan tangan dan produk olahan lain. Belasan lukisan cantik terpampang mengitari di sekitar. Lukisan-lukisan karakter yang menggambarkan interaksi masyarakat lokal dengan alam.

Di sudut lain, anak-anak kecil nampak gembira mengikuti permainan ular tangga raksasa dan puzzle. Permainan umum, tapi di dalamnya termuat gambar dan cerita tentang perubahan iklim. Upaya kecil untuk memperkenalkan anak-anak dengan perubahan iklim. PRF benar-benar ingin memperkenalkan isu perubahan iklim ini pada anak-anak. Ada lomba mewarnai di sudut yang lain. Sangat penting memang mengedukasi anak-anak sejak dini tentang perubahan iklim karena mereka lah yang akan meneruskan aksi-aksi dan solusi iklim yang saat ini dibangun oleh VCA Indonesia.

Photo booth di sebelah kanan gapura PRF ramai digunakan orang-orang yang baru datang. Papan putih di sebelah kiri gapura juga telah dipenuhi coretan dari pengunjung. Semua orang bicara tentang pentingnya menjaga alam. Kalimat-kalimatnya mungkin sederhana, tapi itu ekspresi pengunjung yang notabenenya adalah orang awam.

 

“Laut bukan tempat sampah”.

“Jadilah solusi, bukan polusi.”

“Bagi cinta ke sesama, ke alam, sampai jauh.”

 

Sekitar pukul 19.00, Maumere yang biasanya telah sepi, justru berubah menjadi ramai pada 27-28 September 2024 itu. Orang yang datang ke PRF semakin ramai. Panggung utama telah dibuka. Tiap harinya dibuka dengan pertunjukan teater, salah satunya adalah teater Muro. Ragam musisi menghibur ribuan warga Maumere. Di sela mereka bernyanyi, teriakan dan ajakan untuk menjaga alam disambut persetujuan oleh pengunjung.

Manifesto Suara Bae dari Timur kembali berkumandang. Dibacakan oleh orang-orang muda local champion perwakilan dari koalisi VCA Indonesia dan perwakilan dari berbagai daerah di NTT, di hadapan ribuan pengunjung. Menyampaikan berbagai masalah yang muncul akibat dari krisis iklim, sekaligus melantangkan 15 butir rekomendasi.

“…… Mendorong dibentuknya regulasi setingkat undang-undang yang dapat menjawab persoalan krisis iklim secara holistik dengan memprioritaskan substansi dan dimensi keadilan iklim, meliputi keadilan rekognisi, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif, serta keadilan gender.”

Suara Bae dari Timur telah berhasil memperkuat suara-suara komunitas lokal melalui rangkaian acara di PRF 2024. Local Champion Camp mampu menelurkan manifesto, satu dokumen penting yang berisi sikap VCA Indonesia atas krisis iklim. Membawa pulang manifesto ini ke daerahnya masing-masing, lalu menyampaikannya pada pemerintah setempat.

Dialog dengan pemerintah Kabupaten Sikka, suara-suara dari tokoh masyarakat, masyarakat adat, pesisir nelayan, petani lokal, perempuan, dan pemuda yang aktif mengadvokasi isu-isu lingkungan menyampaikan langsung berbagai tantangan dan dorongan dukungan dari pemerintah.

Dan yang tak kalah penting, PRF semakin memperkuat hubungan antar komunitas, menegaskan komitmen, dan memupuk lebih dalam harapan akan mampunya NTT beradaptasi, membangun aksi dan solusi atas krisis iklim.

***

Pukul 03.30 pagi, tiga rombongan sudah bergerak dari Maumere menuju Jakarta. Tak ada kesempatan untuk istirahat walau acara puncak penutupan PRF 2024 baru usai satu jam sebelumnya. Berangkat lebih pagi karena ingin membuktikan kekayaan alam NTT, menikmati indahnya Danau Kelimutu di pagi hari. Lalu kemudian bergerak menuju Ende untuk kemudian terbang kembali ke mantan ibukota Indonesia.

Tapi, alam tak bisa diprediksi manusia dengan akurat, apalagi dilawan. Hambusan angin membawa awan panas Gunung Lewotobi Laki-laki yang tengah aktif ke Ende. Bandara Ende tutup untuk batas waktu yang tak diketahui. Penerbangan dari bandara terdekat di Bajawa telah penuh. Pilihan paling realistis adalah terbang dari Labuan Bajo, bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 12 jam nonstop.

“Gak ada pilihan lain, paling aman memang ke Bajo. Kita bisa berhenti bermalam di Ruteng, asik tempatnya dingin. Besoknya di Bajo kita bisa santai tipis-tipis di pinggir pantai sebelum ke bandara,” ujar Arti, Manajer Program VCA Indonesia – Yayasan Humanis.

Alfa, rekan sekerja Arti, merespons rencana itu dengan senyum. “Ok, menyusur Pulau Flores,” gumannya.

Trisa terlihat tak antusias dan tak peduli. Ia tampak pusing dan resah. Pusing harus mengatur ulang perjalanan dan resah karena harus lebih lama meninggalkan anak kecilnya yang masih berusia setahun.

Perjalanan darat dimulai. Sepertinya Flores belum ingin ditinggalkan terlalu cepat oleh rombongan dari Jakarta. Menyusur pantai, membelah liuk pegunungan, dan melewati hamparan hijau persawahan. “Dipaksa” untuk menikmati alam Flores.

“Udah tidur, bangun, tidur, bangun, masih aja di jalan ini,” kelakar Trisa yang memecah tawa di dalam mobil.

 

newsletter