RUU Keadilan Iklim: Karena Krisis Iklim Lebih Dari Sekadar “Tanggung Jawab Bersama”

Climate Justice

RUU Keadilan Iklim: Karena Krisis Iklim Lebih Dari Sekadar “Tanggung Jawab Bersama”

Humanis Foundation

Keterangan Foto: Rumah dan Mushola Terdampak Banjir Rob dan Abrasi di Dusun Bedono, Demak (WALHI, 2023)

 

Penulis: Karunia Haganta 

Penyunting: Fadilla D Putri 

 

Krisis iklim adalah mutlak merupakan tanggung jawab bersama. Persoalannya adalah, “tanggung jawab bersama” ini justru sering menjadi dalil bagi pihak-pihak tertentu untuk terus melakukan perilaku eksploitatif dan memperparah krisis iklim seraya membiarkan pihak lain menanggungnya. Nixon (2005) menyebutnya sebagai kekerasan yang terjadi secara perlahan dengan sifat yang akumulatif. Sifat kekerasan yang perlahan juga membuat korbannya tidak tahu menahu siapa pelakunya. 

Ketidaksetaraan menjadi tantangan utama dalam menangani krisis iklim. Maka diperlukan instrumen pengikat yang mampu memaksa para pihak untuk bertanggung jawab sesuai kedudukannya. Tujuan utama instrumen ini bukan untuk sekadar mendasari upaya-upaya penanganan perubahan dan krisis iklim, melainkan mewujudkan keadilan iklim. Ini yang menjadi urgensi dari RUU Keadilan Iklim. Nilai dan prinsip keadilan iklim tersebut di antaranya: (1) Keadilan distributif; (2) Tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan; (3) Pemerataan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan; (4) Keadilan rekognitif; (5) Keadilan prosedural; (6) Keadilan korektif; (7) Keadilan antar generasi; dan (8) Keadilan gender (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, 2023). 

Khusus bagi masyarakat pesisir, urgensi RUU Keadilan Iklim bertambah karena perubahan iklim bukan lagi sekadar ancaman, melainkan sudah sangat merugikan mereka. Di Sangihe, Sulawesi Utara, naiknya permukaan laut, ditambah dengan semakin seringnya cuaca buruk, memaksa masyarakat setempat untuk bertahan “seadanya” dengan hanya mengandalkan karung pasir dan pepohonan sebagai tanggul (Talib & Limbengpiah, 2020). Mereka juga harus merenovasi rumah mereka untuk dapat bertahan dalam situasi tersebut. Di sisi lain, mata pencaharian mereka juga semakin terancam karena makin sedikitnya hasil tangkapan ikan. 

Realita ini tidak terbatas pada wilayah Indonesia timur. Di Pulau Jawa, wilayah pesisir utara seperti Semarang, bahkan Jakarta, mengalami hal serupa. Di Jakarta, masyarakat miskin di Kelurahan Cilincing dan Kelurahan Kalibaru harus menghadapi ancaman tenggelam di lautan yang penuh sampah dan berpolusi tinggi (Padawangi, 2015). Di Semarang, masyarakat pesisir bergantung pada infrastruktur seperti tanggul laut yang sekadar mengulur waktu tenggelamnya mereka (Ley, 2021). 

Masalah di ketiga pesisir ini adalah contoh dari betapa rentannya masyarakat pesisir. Kerentanan ini selalu berpadu dengan krisis ketimpangan, khususnya ketimpangan ekonomi, gender, dan spasial. Di Jakarta, masalah ini berpadu dengan kemiskinan, sampah, dan ketimpangan spasial. Proyek besar seperti Pantai Mutiara Integrated Development Zone mengorbankan masyarakat miskin di Kelurahan Cilincing dan Kelurahan Kalibaru yang kesulitan mengakses air bersih dan makin terancam karena kenaikan air laut beserta sampah yang bermuara di pesisir (Padawangi, 2012).  

Di Sangihe, masyarakat pesisir harus berhadapan dengan eksploitasi tambang emas yang konsesinya mencakup wilayah pemukiman (Jong, 2022). Meski izin tambang telah dicabut, tetapi kontrak karya1 masih belum dicabut dan menjadi ancaman bahwa penambangan dapat sewaktu-waktu dilakukan kembali (Prasetyadi, 2023). Di pesisir utara Jawa Tengah, termasuk Semarang, kondisi ekologis makin terancam karena pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tol-Tanggul Laut Semarang-Demak yang membuat tanah semakin amblas dan ketersediaan air bersih semakin krisis  (Batubara, et al., 2020). 

Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa krisis iklim berkelindan dengan ketimpangan spasial, sosial, gender, maupun ekonomi di pesisir. Ini juga membuktikan bahwa krisis iklim adalah kekerasan karena sesungguhnya “pelaku-pelakunya” dan “tindak kejahatannya” dapat diidentifikasikan dengan jelas. Kasus gugatan terhadap izin tambang emas di Sangihe adalah contoh nyata bahwa kerusakan lingkungan juga membutuhkan instrumen pengikat yang mampu mengatur struktur yang lebih luas daripada dampak krisis iklim dalam lokalitas tersebut. Terlebih lagi, dalam konteks Sangihe, perusahaan yang dituntut berasal dari Kanada. Langkah gugatan hukum juga diambil oleh masyarakat Pulau Pari terhadap Holcim atas kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang ditimbulkannya (Nurfaizah, 2023). 

Selama ini, masalah-masalah pesisir tersebut ditanggulangi hanya dari sisi masyarakat pesisir itu sendiri, baik melalui solusi yang cenderung teknokratis seperti reklamasi, maupun melalui pemberdayaan dan peningkatan adaptasi serta resiliensi masyarakat pesisir. Persoalannya adalah, seperti diungkapkan pada laporan IPCC (2023: 61), adaptasi dalam skala lokal ini telah mencapai batasnya dan masih belum mampu mencegah losses and damages. Reklamasi, seperti dilakukan di Jakarta, Bali, dan Makassar, juga gagal mengatasi krisis ekologis dan bahkan cenderung merugikan nelayan (Fabinyi, et al., 2022). 

Narasi pemberdayaan juga gagal karena masih belum mampu memberi ruang partisipasi bermakna bagi kelompok rentan, seperti perempuan, orang muda, orang dengan disabilitas, lansia, dan kelompok miskin. Pemberdayaan perempuan di pesisir utara Jawa Tengah masih berpusat pada tugas-tugas domestik seperti pengolahan ikan atau memasak (SOC Semarang 2023, unpublished). Sementara itu, di Sangihe, perempuan miskin, terutama yang disabilitas atau lansia, tidak memiliki akses terhadap lahan. Krisis iklim juga mendorong orang muda bermigrasi untuk mencari pekerjaan yang lebih layak, tetapi bagi orang muda perempuan, mereka dilarang meninggalkan keluarga (Talib & Limbengpiah, 2020). Situasi tersebut menunjukkan bahwa “pengalaman perempuan” ataupun “pengalaman orang muda” tidaklah seragam, karena masing-masing dari mereka memiliki lapisan identitas yang beragam yang membentuk situasi kerentanan mereka. 

Kekerasan terjadi tidak hanya pada rusaknya ekologi yang seharusnya merupakan hak dasar masyarakat. Kekerasan juga terjadi melalui hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir, memaksa mereka untuk mencari pekerjaan lain yang umumnya menjadikan mereka sebagai pekerja murah (cheap labour) (Patel & Moore, 2017).  

Keadilan tidak akan bisa dicapai jika krisis iklim sekadar dimaknai sebagai “tanggung jawab bersama” tanpa adanya afirmasi terhadap masyarakat rentan yang menjadi korban dan gugatan pada kapitalisme yang mengeruk keuntungan. Patut diingat, bahwa mereka yang paling terdampak atas krisis iklim biasanya adalah mereka yang paling tidak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan (Thomas, 2022).  

Inilah yang mendasari bahwa keadilan hanya bisa dicapai melalui adanya instrumen pengikat – khususnya melalui jalur legal – sebagai sarananya untuk memaksa pihak-pihak yang berkuasa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka dan menjaga hak-hak dasar, terutama bagi masyarakat rentan. 

 

Referensi: 

Batubara, B., et al. (2020). Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Bantul: Lintas Nalar. 

Fabinyi, M., et al. (2022). Coastal transitions: Small-scale fisheries, livelihoods, and maritime zone Developments in Southeast Asia. Journal of Rural Studies, 91, 184-194. 

IPCC. (2023). Climate Change 2023: Synthesis Report. Geneva: IPCC. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim. (2023). Kertas Posisi: Koalisi Keadilan Iklim Mendesak Negara Segera Menyusun UU Keadilan Iklim. 

Ley, L. (2021). Building on Borrowed Time: Rising Seas and Failing Infrastructure in Semarang. Minneapolis: University of Minnesota Press. 

Long, H.N. (2022). Indonesia’s Sangihe islanders score legal victory over mining company. Mongabay, June 20. Accessed from https://news.mongabay.com/2022/06/indonesias-sangihe-islanders-score-legal-victory-over-mining-company/. 

Nixon, R. (2005). Slow Violence and the Environmentalism of the Poor. Cambridge: Harvard University Press. 

Nurfaizah, A. (2023). September-November 2023, Gugatan Warga Pulau Pari Disidangkan di Swiss. Kompas, May 11. Accessed from https://www.kompas.id/baca/metro/2023/05/11/gugatan-warga-pulau-pari-akan-disidangkan-di-swiss-pada-september-november-2023. 

Padawangi, R. (2012). Climate Change and the North Coast of Jakarta: Environmental Justice and the Social Construction of Space in Urban Poor Communities. In Urban Areas and Global Climate Change Vol. 12. 

Prasetyadi, K.O. (2023). Koalisi Antitambang Sangihe Siap Menggugat jika PT TMS Dapat Izin Baru. Kompas, September 16. Accessed from https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/09/15/koalisi-antitambang-sangihe-siap-menggugat-jika-pt-tms-dapat-izin-baru. 

Patel, R. & J.W. Moore. (2017). A History of the World in Seven Cheap Things: A Guide to Capitalism, Nature, and the Future of the Planet. Oakland: University of California Press. 

State of Coast Semarang 2023 (unpublished). 

Talib, N. & S. Limbengpiah. (2020). Frontier Islands and Climate Change. New Naratif. Accessed from https://www.researchgate.net/publication/344760897_Frontier_Islands_and_Climate_Change_A_Story_From_Indonesia’s_Sangihe_Islands. 

Thomas, Leah. (2022) The Intersectional Environmentalist: How to Dismantle Systems of Oppression to Protect People + Planet. New York: Voracious. 

 

 

newsletter