Komitmen Indonesia dalam Dokumen Perjanjian Iklim: Sudahkah Inklusif?

Climate Justice

Komitmen Indonesia dalam Dokumen Perjanjian Iklim: Sudahkah Inklusif?

Nisrina Nadhifah Rahman dan Ruhaina Zulfiani

Apa itu Nationally Determined Contribution (NDC) khususnya Second NDC?

Sejak tahun 2015, Indonesia telah menunjukan komitmennya di tataran global dalam menangani krisis iklim dengan menyusun dan menyerahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) pada 2015, First Nationally Determined Contribution atau First NDC pada 2016, Updated NDC pada 2021, hingga Enhanced NDC (ENDC) pada 2022.

Perkembangan teranyar, Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berencana untuk menyerahkan naskah Second Nationally Determined Contribution (Second NDC atau SNDC) pada bulan Agustus 2024, alias lebih awal dari kesepakatan Paris Agreement pada 2025.[1]

Namun, ketika ditelisik lebih jauh, banyak hal yang masih ‘hilang’ dalam dokumen-dokumen komitmen iklim tersebut, antara lain, adalah penggunaan lensa atau perspektif berlandaskan keadilan, baik itu keadilan berbasis subyek dan keadilan berbasis lanskap.

Padahal, krisis iklim memperparah bahaya, cobaan dan tantangan yang dialami oleh rakyat Indonesia, paling dan terutama, yang berdampak pada kelompok yang rentan antara lain masyarakat adat, orang dengan disabilitas, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, petani kecil, perempuan, buruh, masyarakat miskin kota dan orang muda.

Linimasa Kontribusi Masyarakat Sipil untuk Second NDC

Berbagai inisiatif dari kelompok masyarakat sipil telah lahir untuk ‘membantu’ Pemerintah Indonesia dalam hal ini khususnya KLHK untuk mempersiapkan submisi Second NDC yang lebih komprehensif, konkret, dan berorientasi pada keadilan iklim.

Sejak April 2024, sejumlah kelompok masyarakat sipil seperti Yayasan PIKUL, Yayasan Madani Berkelanjutan dan Humanis turut serta dalam diskusi terbatas untuk menjaring pandangan dari teman-teman yang sama-sama bergerak di sektor adaptasi untuk mengkaji dan mengevaluasi bersama aspek adaptasi dalam dokumen Enhanced NDC.

Dari sana, kami menemukan bahwa Enhanced NDC adalah dokumen yang diproduksi secara minim partisipasi dari kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat terdampak perubahan iklim. Dokumen tersebut juga masih sangat minim kesesuaian konteks dengan kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya yang mana hal ini harus dicegah agar tidak terulang kembali di penyusunan Second NDC.

Pada Mei 2024, kurang lebih 23 organisasi masyarakat sipil yang bekerja di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua, melanjutkan proses kajian cepat terhadap dokumen Enhanced NDC[2], beserta dengan dokumen-dokumen penyerta lain seperti Roadmap NDC Adaptasi Perubahan Iklim[3], dan Indonesia’s Adaptation Communication.[4] Adapun kerangka dan lensa yang digunakan dalam melakukan kajian cepat terhadap dokumen-dokumen tercebut adalah Indeks Adaptasi Berkeadilan (Adaptation Justice Index)[5] yang terdiri dari Keadilan Rekognitif, Keadilan Prosedural, Keadilan Distributif, dan Keadilan Restoratif.

KOTAK DEFINISI
·      Keadilan Rekognitif: mencakup pengakuan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang beragam dan memiliki kebutuhan, keinginan, dan kemampuan adaptasi yang berbeda-beda. Keadilan Rekognitif mengakui kerentanan struktural dan ketidaksetaraan yang dialami oleh kelompok masyarakat yang berbeda-beda, terutama kelompok dengan tantangan khusus mengenai hak-hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya.

 

·      Keadilan Prosedural: mencakup proses pembuatan keputusan yang transparan, akuntabel, dan memperhitungkan suara, nilai, serta sudut pandang yang beragam. Untuk mewujudkan keadilan prosedural, partisipasi masyarakat harus bersifat menyeluruh, kolaboratif, setara dan terus menerus.

 

·      Keadilan Distributif: mencakup bagaimana dampak perubahan iklim beserta dampak (positif dan negatif) dari aksi adaptasi didistribusikan secara berkeadilan di masyarakat

 

·      Keadilan Restoratif: mencakup pengakuan dan tindak lanjut atas konteks adaptasi yang berkaitan dengan loss and damage yang harus memprioritaskan penggantian rugi atau penggantian kerusakan akibat dampak perubahan iklim dan dampak maladaptasi yang paling dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu, termasuk dan terutama kelompok rentan.

Secara khusus, keterlibatan tim FOCUS Humanis dalam forum masyarakat sipil pada bulan Mei 2024 tersebut menyoroti bagaimana konteks antara masyarakat pesisir perkotaan dan masyarakat pesisir non perkotaan perlu dibahas secara khusus karena pengalaman dan tantangan yang dialami sangatlah berbeda. Sebagai contoh, masyarakat pesisir perkotaan tidak selalu menjadikan kegiatan melaut atau profesi nelayan sebagai sumber mata pencaharian utama, namun di sisi yang lain nelayan perkotaan tetap mengalami dampak perubahan iklim seperti ancaman banjir rob, industrialisasi, pembangunan, pembuangan dan penumpukan limbah, dan lainnya.

Di sisi lain, masyarakat pesisir non perkotaan menghadapi tantangan yang berbeda, seperti misalnya menjadi korban berlapis atas pembangunan dan eksploitasi alam yang terjadi di sekitar, terbatasnya akses untuk mendapatkan bantuan, fasilitas, penggantian rugi dan lainnya.

Status nelayan dan kelompok masyarakat pesisir juga menjadi hal yang penting diprioritaskan, seperti misalnya pengakuan terhadap nelayan perempuan, perlindungan terhadap ‘buruh’ nelayan, hingga pentingnya memperhitungkan nelayan disabilitas dengan segala kebutuhan yang berbeda dan tantangan spesifik serta berlapis yang mereka alami.

Pada Juni 2024, koalisi masyarakat sipil juga telah melayangkan Surat Terbuka kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia serta meluncurkan Siaran Pers yang berisi sejumlah aspirasi untuk mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia melalui proses penyusunan Second NDC yang lebih paritispatif, inklusif dan bermakna.

Semiloka “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan”

Pada 3-4 Juli 2024, koalisi masyarakat sipil secara kolaboratif mengadakan Semiloka “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” sekaligus mengadakan media briefing yang menghadirkan langsung, perwakilan kelompok rentan masyarakat miskin kota, disabilitas, orang muda, dan nelayan perempuan. Media briefing ini bertujuan untuk mengangkat dan menyuarakan aspirasi kelompok rentan agar dapat digaungkan lebih jauh melalui kanal-kanal media.

Ade dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh orang dengan disabilitas dalam mencari pekerjaan, terutama di sektor informal seperti pedagang asongan. Krisis iklim berdampak pada penghidupan mereka yang kian rentan. Mereka sering kali tidak mampu bertahan dan kehilangan pekerjaan dikarenakan cuaca yang semakin memanas. Selain itu, infrastruktur negara masih cenderung bias abilitas (ableism), terutama dalam hal aksesibilitas fasilitas umum. Dalam konteks bencana iklim, orang dengan disabilitas sering dievakuasi paling terakhir karena sulitnya akses dan alat evakuasi yang kurang memadai.

Keresahan lain juga disampaikan oleh Wati dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Berbagai proyek strategis pada kawasan urban pesisir seringkali dibangun tanpa adanya konsultasi secara penuh dengan masyarakat. Pembangunan bendungan, tembok, atau giant sea wall untuk mengatasi banjir rob hanyalah menunda masalah yang sebenarnya.

Perwakilan nelayan perempuan dari Demak, Nur Rikhah dan Hidayah, juga menghadapi tantangan spesifik akibat adanya krisis iklim. Peningkatan suhu air laut serta gelombang pasang yang tidak dapat diprediksi membuat nelayan sulit mendapatkan hasil tangkapan. Bukan hanya itu, sulitnya perempuan untuk mendapat pengakuan identitas sebagai nelayan semakin memperparah kondisi mereka. Tanpa diakuinya identitas sebagai nelayan, nelayan perempuan akan menjadi sangat rentan karena tidak dapat mengakses berbagai bantuan serta asuransi.

Padahal, asuransi menjadi hal yang sangat penting seiring dengan risiko melaut yang semakin tinggi akibat adanya krisis iklim. Belum lagi masalah banjir rob yang semakin mengancam ruang hidup nelayan di pesisir Demak. Nur Rikhah dan Hidayah juga menyuarakan keresahan mereka terhadap minimnya pelibatan nelayan pada proses penyusunan kebijakan maupun pembangunan oleh pemerintah di wilayah pesisir.

Photo 1. Nur Rikhah dan Hidayah (pertama dan kedua dari kanan), Nelayan Perempuan dari Demak, Jawa Tengah dalam Media Briefing pada 4 Juli 2024 (Ruhaina Zulfiani)

Proses penyusunan kebijakan terkait iklim yang bersifat tokenisme terhadap orang muda menyebabkan kebijakan yang dihasilkan kurang mengakomodir kepentingan dan kebutuhan spesifik orang muda. Fathan dari Climate Rangers Jakarta menerangkan bahwa orang muda adalah pihak yang sangat rentan dan berpotensi untuk mewarisi kerusakan serta berbagai dampak buruk akibat kebijakan yang dihasilkan oleh generasi sebelumnya. Fathan juga menyampaikan bahwa akses pendidikan belum merata dan sistem pendidikan yang belum mendorong daya pikir kritis, termasuk mengenai isu perubahan iklim.

***

[1] NN. “Siapkan Second NDC, Indonesia Perkuat Komitmen Atasi Dampak Perubahan Iklim.” ppid@menlhk, 22 April 2024, https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7684/siapkan-second-ndc-indonesia-perkuat-komitmen-atasi-dampak-perubahan-iklim. Accessed 21 May 2024

[2] https://unfccc.int/documents/615082?gad_source=1&gclid=Cj0KCQjwhb60BhClARIsABGGtw9RZyvfNCHDmTGyKxkr4pnxYD5waVdr9rkggOvjhpseRRnSdPk4qtkaAo0qEALw_wcB

[3] https://ploboks.id/doc_repository/29/Roadmap_NDC_API_opt.pdf

[4] https://unfccc.int/sites/default/files/ACR/2022-11/221119%20Indonesia%20Adaptation%20Communication.pdf

[5] https://helda.helsinki.fi/server/api/core/bitstreams/57a186ca-b436-421b-994c-d556ae8c3f1c/content

newsletter