
Climate Justice | June 23, 2025
Merawat itu Politis: Menuju Keadilan Iklim dan Gender
Nisrina Nadhifah Rahman
Krisis iklim itu nyata. Namun, memukul rata krisis iklim sebagai satu-satunya ‘sebab’ serangkaian bencana seperti cuaca yang tak dapat diprediksi ataupun banjir di daerah yang tak lazim menjadi daerah rawan banjir, bukanlah jawabannya.
Persoalan ‘penyebab’ tersebut perlu dibedah, agar kita tidak hanya sekadar dapat ‘menyimpulkan’ banyak ‘kesialan’ sebagai krisis, melainkan membedah dari mana sebenarnya krisis itu berasal dan mengapa kita yang merasakan dampaknya.
Krisis Iklim sebagai Warisan Kolonial: Membongkar Jejak Penjajahan
Krisis iklim bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan akibat langsung dari sistem kekuasaan dan ketidaksetaraan yang mengakar kuat. Karena itu, untuk menentukan pemegang tanggung jawab harus membaca sejarah secara adil. Misalnya, sebanyak 23 negara kaya dan maju bertanggung jawab atas setengah dari seluruh emisi CO2 yang terjadi selama periode 2010–2019. Negara-negara tersebut adalah negara-negara Eropa, Jepang, Mexico dan Amerika Serikat.
Menurut Carbon Majors, lebih dari 70% emisi CO2 global dari tahun 1854 hingga 2022 dapat dikaitkan dengan 78 perusahaan dan negara yang memproduksi CO2. Selain itu, lebih dari setengah total karbon dari pembakaran bahan bakar fosil telah dilepaskan ke atmosfer hanya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.[1]
Menghubungkan antara krisis iklim dengan kolonialisme dapat membantu kita untuk sadar dan mengakui bahwa ketidakadilan historis tidak akan hilang dalam sejarah: warisannya masih ada hingga kini, bahkan efeknya berlapis-lapis. Misalnya, banjir rutin Jakarta dapat ditelusuri kembali ke masa penjajahan Belanda di tahun 1600-an. Infrastruktur yang sengaja didesain untuk memisahkan kelompok masyarakat pada saat itu menyebabkan penduduk Indonesia pada saat itu untuk mengakses air bersih.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, penduduk asli dipaksa untuk membuat sumur sendiri dan mengambil air tanah dari akuifer. Praktik ini terus berlanjut bahkan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kini, sebagai kota dengan populasi 10 juta lebih jiwa, ‘warisan sejarah’ ini menyebabkan Jakarta menjadi salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia.
Praktik ekstraksi dan perusakan sumber daya alam (dan mengganggu kesejahteraan manusia) yang membuat dampak krisis iklim semakin signifikan, lagi-lagi dimulai sejak masa penjajahan Belanda.
Dalam konteks Indonesia, model ekonomi ekstraktif yang ‘diperkenalkan’ oleh Belanda di zaman kolonialisme masih dipakai hingga sekarang. Bahkan dalam skema transisi energi (yang digadang-gadang sebagai transisi ‘hijau’), ekonomi Indonesia telah bergeser ke ekspor mineral penting seperti nikel (bahan baterai kendaraan listrik) yang pada kenyataannya merusak lahan warga dan sumber air serta pangan di Halmahera Tengah, Maluku Utara dan di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Krisis Iklim adalah Krisis (bagi) Perempuan
Krisis iklim sama sekali tidak “netral gender”. Krisis iklim memiliki dampak yang tidak seragam dan tidak proporsional terutama pada kelompok-kelompok yang sudah lebih dahulu rentan, termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, ras dan etnis minoritas, orang dengan disabilitas, masyarakat adat, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Perempuan yang tinggal di komunitas miskin dan daerah terpencil, misalnya, telah lama mengalami ketimpangan atas akses terhadap infrastruktur dasar dan layanan publik yang terjangkau dan berkualitas, termasuk layanan kesehatan dan pendidikan. Dalam konteks iklim, bahkan ketika investasi atau proyek untuk adaptasi, mitigasi, atau pemulihan dari dampak krisis iklim seolah mengalir dan menjadi tren, perempuan di komunitas miskin cenderung tidak mendapat manfaat secara adil. Bahkan, mereka justru paling berisiko kehilangan tanah, mata pencaharian, keamanan dan keselamatan akibat solusi iklim yang tidak berpihak pada mereka.
Analisis dari Carbon Brief menunjukan bahwa dari total 130 penelitian tentang perubahan iklim dan kesehatan, 89 penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih terdampak dibanding laki-laki. Sementara itu, 30 penelitian menemukan laki-laki lebih terdampak, dan 11 penelitian lainnya tidak melihat perbedaan dampak antara perempuan dan laki-laki.
El Niño yang meningkatkan gelombang panas menyebabkan cuaca lebih panas dan lebih kering serta berdampak besar terhadap perempuan. Perempuan menghadapi berbagai tantangan seperti meningkatnya risiko kekurangan pangan, kehilangan penghasilan, beban kerja perawatan yang makin berat, dan risiko kekerasan berbasis gender karena norma patriarki dan diskriminasi struktural.
Perempuan punya pengetahuan lokal yang kuat dan sering menjadi pengelola sumber daya alam di tempatnya berada. Namun sayang, mereka kerap diabaikan dalam aneka proses pengambilan keputusan terkait kebijakan dan aksi iklim.
Mengutamakan Perawatan
Sejak era industri, kapitalisme telah berhasil memisahkan kerja reproduksi sosial (seperti merawat, mengasuh anak, dan menjaga kehidupan sehari-hari) dari kerja reproduksi ekonomi (seperti bekerja di pabrik, perusahaan dan kantor). Akibatnya, selagi harus berjuang bertahan menghadapi krisis iklim, kita secara bersamaan juga mengalami krisis perawatan (crisis of care).
Dokumen Humanis Way: Gender & Climate Justice Strategic Guidelines yang baru saja diluncurkan, mendefinisikan krisis perawatan (crisis of care) sebagai: suatu kondisi sosial di mana perawatan –baik untuk individu, komunitas, maupun alam– diremehkan, diabaikan, atau tidak diprioritaskan secara sistematis, yang menyebabkan ketidaksetaraan yang meluas, degradasi lingkungan, dan menurunnya ikatan sosial dan kesejahteraan.
Dalam dokumen tersebut, kami menawarkan cara pandang bahwa krisis iklim bukanlah krisis yang tunggal dan sementara, melainkan sebuah gabungan dari krisis ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang saling terkait erat dengan sejarah kolonialisme dan penindasan. Krisis ini adalah akibat dari kapitalisme yang telah merambah ke semua aspek kehidupan manusia—menjadikan segala sesuatu sebagai alat produksi dan berorientasi pada keuntungan— sehingga mencegah, bahkan menghalang-halangi kita untuk saling merawat.
Ironisnya, di saat yang bersamaan, sistem ekonomi kapitalis juga sangat bergantung pada pekerjaan merawat [2] namun, pekerjaan-pekerjaan ini cenderung dianggap ”otomatis“ dijalankan oleh identitas gender tertentu (yakni perempuan), tidak bermuatan nilai ekonomi, dan tidak perlu diakui. Bahkan, kerja perawatan sering disebut sebagai sebatas “kerja afektif” yang imbalannya ”doa“ atau ”surga”.
Perempuan memikul sebagian besar pekerjaan perawatan di seluruh dunia: 76% di antara kerja perawatan tersebut adalah pekerjaan yang tidak dibayar. Data International Labour Organization (ILO) yang dirilis pada tahun 2024 menemukan bahwa 45% alasan ketiadaan perempuan dalam angkatan kerja adalah karena tanggung jawab perawatan (care responsibilities), adapun definisi care responsibilities yang dimaksud adalah bentuk-bentuk perawatan esensial bagi anggota keluarga, termasuk dan tidak terbatas pada pengasuhan anak.
Tanggung jawab perawatan ini yang kemudian menjadi beban ekstra bagi perempuan, sehingga mereka kurang dapat berpartisipasi dalam “urusan publik”, termasuk perihal iklim dan ekonomi. Parahnya kontribusi mereka dalam mengurus keluarga, komunitas, dan masyarakat, termasuk selama dan setelah krisis, tidak dibayar atau tidak diakui.
Studi kasus project FOCUS misalnya, menemukan bahwa 48% sumber pendapatan rumah tangga nelayan berasal dari perempuan [3] yang memainkan peran penting dalam rantai nilai perikanan, semenjak mempersiapkan jaring, hingga memasarkan hasil tangkapan. Namun, profesi perempuan nelayan pun tidak sepenuhnya diakui, dan kerja-kerja perempuan nelayan kerap dianggap kerja-kerja yang ”sudah sepatutnya“ sebagai bagian dari urusan domestik perempuan.
Dalam Humanis Way: Gender & Climate Justice Strategic Guidelines kami juga menawarkan dan mempromosikan sebuah prinsip berbunyi “Menghargai Kerja Perawatan (Valuing Care Work)” untuk dapat diintegrasikan ke seluruh percakapan dan upaya yang menyasar persoalan krisis iklim dan ketidakadilan gender, hingga ke kerja-kerja masyarakat sipil secara keseluruhan.
Menghargai kerja perawatan berarti menempatkan aktivitas perawatan sebagai hal yang esensial dalam memenuhi kebutuhan manusia, baik di tingkat rumah tangga, komunitas, maupun dalam sistem sosial. Ini mencakup perencanaan dan penganggaran program atau proyek yang berpihak pada kepedulian, serta merawat daya tahan gerakan sosial dan ekosistem perjuangan kolektif. Aspek perencanaan dan penganggaran penting untuk disasar, agar porsi perawatan (yang cenderung bersifat ‘internal’) bisa jadi prioritas, tidak kalah dengan porsi-porsi lain seperti keterpaparan (exposure) yang kental nuansa ‘eksternal’.
Kerja perawatan mesti berakar pada solidaritas, kolaborasi, dan keberlanjutan, serta didukung oleh tata kelola yang demokratis dan pendekatan yang berpusat pada komunitas. Negara tentu saja ditempatkan sebagai duty bearers yang memegang tanggung jawab utama untuk memastikan tersedianya infrastruktur perawatan yang melayani manusia dan alam secara adil.
Sistem dan infrastruktur perawatan yang menjadi tanggung jawab negara, tidak hanya berhenti pada upaya-upaya afirmatif seperti kuota perempuan dalam parlemen, revitalisasi fasilitas day care (tempat penitipan anak), program keluarga berencana (KB) berupa kontrasepsi untuk laki-laki, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, dibutuhkan upaya serius dan berkeadilan yang dapat memperbaiki dan mengembalikan apa yang rusak atau hilang dari alam, serta mereparasi hak-hak asasi manusia yang telah dilanggar.
Tanpa upaya konkret yang mereformasi aspek struktural dan meredistribusi tanggung jawab, kerangka ekonomi perawatan (care economy) yang diantisipasi akan populer dalam waktu dekat, pada akhirnya akan gagal mengeksaminasi kuasa dan mentransformasi relasi kuasa. Ketimpangan gender dan beban ganda perempuan dalam kerja perawatan pun akan terus dipandang sebelah mata, dengan kecil sekali kesempatan untuk benar-benar dipulihkan.
Baca lebih lanjut:
[1] David Wallace-Wells. The Uninhabitable Earth (Tim Duggan Books, New York, NY, 2019) p. 43
[2] Fraser, N. (2022). Cannibal Capitalism: How Our System Is Devouring Democracy, Care, and the Planet and What We Can Do about It. London and New York: Verso
[3] Naufaludin Ismail. 2017. Perjuangan Rekognisi Identitas Hukum Perempuan Ujung Pangkah, Gresik: Analisis Feminis terhadap Kebijakan Kartu dan Asuransi Nelayan. Jakarta: Jurnal Perempuan.