Aksi Iklim Aryani Newa di Desa, Pantai, dan Dunia Maya

Climate Justice

Aksi Iklim Aryani Newa di Desa, Pantai, dan Dunia Maya

Alfa Gumilang

Aryani Newa Humba nama lengkapnya. Nama itu diberikan oleh neneknya, yang artinya seorang anak perempuan yang lahir asli di Sumba yang sederhana dan tangguh. Ia lahir dan tumbuh menjadi perempuan dewasa di Desa Mondu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Sederhana dan tangguhnya bisa kita lihat dari unggahan-unggahannya di akun media sosial Instagramnya. Tak ada cerita yang panjang di tiap unggahan di akun Instagram pribadinya. Singkat-singkat saja keterangannya, tapi foto yang diunggah beragam. Boleh saja ditengok jika tidak percaya, @aryannhumba.

“Nggak terlalu tahu caranya bikin kata-kata yang bagus, tapi foto saja sudah cukup bercerita,” katanya.

Ada beberapa unggahan foto dia bersama anak-anak kecil usia 5 sampai 10 tahun. Di kelas dan ada pula yang di pinggir pantai. Katanya, mereka itu adalah rombongan anak-anak dari Sekolah Minggu di gereja. Kepada anak-anak itu, Ariyani mengajarkan cerita tentang perubahan iklim dan tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Bukan hanya cerita pengetahuan saja yang diajarkannya, tapi juga praktik nyata yang bisa dilakukan oleh anak-anak. Dalam tiga bulan, dia ajak anak-anak satu atau dua kali ke Pantai Purukambera, tak jauh dari desanya. Di sana mereka belajar, bermain, sembari mengajak anak-anak ikut serta membersihkan sampah plastik yang berserakan di pantai. Belajar menghormati alam sejak kecil.

“Yang rutin setiap bulan membersihkan sampah plastik di pantai, adalah bersama teman-teman orang muda di desa,” sambungnya.

Dalam sekali membersihkan pantai, mereka bisa mengumpulkan lima karung sampah plastik. Aksi ini sudah lama ia dan teman-temannya lakukan dan kini ia mulai merasakan dampaknya. Sampah-sampah plastik di pantai itu tak lagi sebanyak dahulu. Menurutnya, mungkin saja perlahan-lahan orang-orang yang berkunjung mulai sadar setelah melihat aksi-aksi mereka.

“Mungkin perlahan-lahan orang jadi malu membuang sampah sembarangan karena kita yang selalu membersihkan sampah-sampah mereka,” ujarnya dengan percaya diri.

Dari pantai ke desa, jaraknya kurang dari satu kilo meter. Ketangguhan Aryani di desa memiliki bentuk yang berbeda, tapi tetap dalam aksi-aksi sederhana yang bisa diimplementasikan oleh orang-orang di desanya.

Ia didaulat sebagai Ketua Kelompok Tani Luri Panamu yang artinya adalah hidup saling mengasihi. Anggotanya ada 15 orang perempuan dan 10 orang laki-laki yang semua sudah berkeluarga. Menariknya, kelompok tani dipimpin perempuan muda yang masih berusia 23 tahun.

Baru satu tahun kelompok tani itu dibentuk. Menanam sayur kangkung, sawi, pakcoi, bawang merah, dan masih banyak lagi. Menggarap 1,5 hektar lahan pertanian. Ada yang dikerjakan secara kolektif, ada pula yang dilakukan sendiri-sendiri, tergatung jenis dan beban pekerjaannya. Hasilnya lumayan, bisa menambah pendapatan rumah tangga dan tambahan biaya sekolah anak-anak mereka.

Biasanya, lahan-lahan pertanian di Sumba dipenuhi dengan jagung. Namun cuaca yang semakin tak terprediksi, membuat tanaman jagung tak bisa diandalkan. Masyarakat harus beradaptasi dengan kondisi tersebut, Kelompok Tani Luri Panamu kemudian berinovasi dengan menanam jenis tanaman pangan lainnya. Aksi ini membuat warga tak lagi bergantung pada satu jenis pangan.

“Dengan kondisi cuaca yang tak menentu, hujan yang tidak teratur, kami cari alternatif pangan. Kami akhirnya bisa memproduksi pangan lain, tidak bergantung dengan jagung,” kata Aryani.

Kelompok tani itu menggunakan cara bertani tradisional, tidak menggunakan pupuk kimia. “Kami pakai daun yang sudah mati, dicampur dengan tanah biasa, atau dicampur dengan kotoran hewan. Itu ajaran dari leluhur kami,” sambungnya.

Masyarakat Adat memang dikenal memiiki kemampuan resiliensi yang tinggi. Kedekatan Masyarakat Adat dengan alam membuat mereka memiliki pengetahuan yang kaya dalam mengelola tanah. Pengetahuan tersebut tak terputus oleh modernisasi, diwariskan secara turun temurun. Dan pengetahuan itu begitu berguna dalam merespons perubahan alam karena krisis iklim yang membuat Masyarakat Adat memiliki kecakapan dalam berdaptasi dengan kondisi alam.

Namun di sisi lain, modernisasi juga membuat orang-orang muda mulai terpengaruh dan berpikir bahwa kerja yang layak adalah di kantoran, tak ingin lagi bertani. Cara berpikir seperti ini menjadi tantangan bagi Aryani dalam menyebarkan ajakan untuk bertani. Ia percaya bahwa orang-orang muda itu butuh penyemangat dan contoh nyata agar mau bertani dan merawat bumi.

“Saya ingin mengajak orang muda bertani dengan contoh nyata bahwa bertani itu bisa menjadi pekerjaan yang layak bagi orang-orang muda,” katanya.

Akun Instagramnya yang dipenuhi dengan berbagai aktivitasnya, ingin menunjukan bahwa Aryani tidaklah hanya banyak bicara. Foto dan video yang diunggahnya menunjukan berbagai contoh nyata apa yang dia lakukan.

Pengetahuan dan aksi-aksi yang dilakukan Aryani ini tak lepas dari peran Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda) yang merupakan bagian dari Koalisi Adaptasi. Di organisasi ini ketangguhan Aryani ditempa. Berbagai pengetahuan tentang perubahan iklim dan upaya menggali berbagai solusi atas krisis iklim dilakukan. Sumber pengetahuannya ada banyak di sekitar, terutama pengetahuan-pengetahuan lokal warisan dari leluhur Masyarakat Adat.

Sekalipun ketangguhan Aryani tak perlu diragukan, tapi membangun kesadaran dan mendorong aksi iklim kepada masyarakat bukan perkara mudah. Kerja-kerja ini harus diperluas dan akan jauh lebih berdampak jika dilakukan secara kolektif. Ia adalah salah satu local champion yang dibersamai oleh Koppesda dan Koalisi Adaptasi yang hingga kini terus dilakukan untuk mendukung lebih banyak Aryani Aryani lainya di Sumba.

newsletter