Karli dan Hutan: Jika Ada yang Mati, Tanam Kembali

Karli dan Hutan: Jika Ada yang Mati, Tanam Kembali

Humanis Foundation

Karlikada (34) tak punya pekerjaan tetap. Kadang dia bekerja sebagai pekerja harian lepas di satu perusahaan. Kadang ia pergi melaut mencari ikan. Kalau hasilnya sedikit, hanya untuk dia konsumsi sendiri. Kalau hasilnya lebih, dia jual.

Tapi, di balik kerjanya yang mungkin terlihat serabutan, perannya dalam konservasi alam terasa jelas. “Sering ke hutan, seminggu sekali. Kalau dalam satu minggu tak ke hutan, di minggu berikutnya dua kali ke hutan,” ujarnya.

Dari Desa Kawalelo, Flores Timur, NTT, jauhnya tiga kilo meter menuju hutan. Berjalan kaki tentunya. Kadang sendiri, kadang bersama temannya, kadang bersama adiknya. Tapi, ia mengaku lebih sering sendiri.

Karli, sapaannya, ke hutan untuk menengok pohon bambu betung yang ia tanam. Selama tiga tahun terakhir, Karli dan teman-temannya sudah menanam lebih dari seribu bambu di dekat mata air Wato Nitung dan aliran sungai.

Seribu bibit bambu itu bantuan dari banyak pihak, ada LSM atau juga pemerintah desa. Sebelum dapat bantuan itu, bambu dia dapat dari mengambil ranting-ranting bambu kecil yang ada di pinggir jalan.

Menanam bibit pohon bambu betung di area mata air dan aliran sungai karena bambu dikenal sebagai tanaman yang yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air. “Mata air yang terjaga, mengaliri dua dusun di Desa Kawalelo. Untuk air minum warga,” sambungnya.

***

Di Flores Timur, orang muda seperti Kalinkada semakin banyak. Mereka ingin menjaga mata air dan sungai tetap mengalir serta menjaga hutan tetap hijau dan rimbun. Bagi mereka, menjaga alam itu sama saja menjaga kehidupan.

Inisiatif ini muncul bukan tanpa sebab, krisis iklim yang semakin parah telah berdampak meluas di sana. Satu dampak krisis iklim merembet ke dampak yang lain.

Krisis iklim membuat cuaca tak lagi mudah diprediksi. Musim panas berlangsung lebih lama, mata air banyak yang mati, ladang tak lagi subur dan hanya mengandalkan air hujan. Nusim hujan semakin singkat, ladang semakin jarang ditanam, sumber kehidupan berkurang. Membuat orang-orang harus pergi merantau, mencari pendapatan lain, jauh dari keluarga.

Pada 5 Juli 2024 lalu, Karli dan rombongan orang-orang muda lainnya mendatangi Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Flores Timur.

Mereka menggelar dialog dengan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur. Menceritakan tentang apa yang selama ini mereka lakukan. Konservasi mata air, pelestarian pangan lokal, hingga pengembangan wirausaha pengolahan pangan lokal. Dialog itu difasilitasi oleh Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (YASPENSEL) dan Yayasan Ayu Tani Mandiri, anggota Koalisi Pangan BAIK.

Dalam pertemuan itu, Karli juga meminta pemda untuk memberikan dukungan bantuan bibit bambu. Tapi sayang, upaya tersebut tak membuahkan hasil yang baik. Karli tak menyesal, baginya, ini adalah bagian dari upaya yang kadang tak selalu berbuah manis.

“Kalau saya perhatikan baik-baik di forum itu, kelihatannya kita ditolak ya. Katanya, untuk mata air pemda fokus pada penanaman pohon pala. Entah benar atau tidak, kita tidak sekolah dan kita tidak tahu. Saya tak mendebatnya,” ucapnya sambil terkekeh.

Upaya dialog dengan pemerintah yang dilakukan Karli dan teman-temannya untuk menceritakan praktik aksi iklim dan menggalang dukungan dari pemerintah tak hanya terjadi saat itu. Di tingkat nasional, pernah disampaikan di acara Pesta Iklim di Jakarta pada tengah Juli 2024, Festival Millet di Jakarta yang dibuat oleh Kedutaan India dan ASEAN pada tahun 2023, hingga ke forum lintas negara di Asia Pasific Climate Week di Johor Baru, Malaysia.

Paling dekat pada 21 Agustus 2024 nanti, Karli, dkk, juga akan ikut dalam dialog kebijakan pangan yang akan mengundang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pangan Nasional (Bappanas), Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dll.

Entah akan seperti apa respons pemerintah pusat nanti, yang pasti Karli akan kembali menyuarakan aksi-aksi yang selama ini dilakukan bersama teman-temannya dan akan menagih dukungan dari pemerintah.

 

***

Tak selamanya sebuah upaya baik akan berimbas hal yang baik. Pengalaman lebih menyakitkan pernah dialami Karli dan teman-temannya pada 2021. Mereka menanam 2.500 bibit pohon beringin, pohon kapuk hutan, dan pohon aren di pinggir aliran sungai. Keinginannya agar hutan tak semakin kering sirna karena dihantam banjir bandang.

“Hanya tersisa sepuluh atau belasan pohon beringin dan kapuk hutan. Sementara pohon aren habis dicabuti sama monyet,” ungkapnya mengingat peristiwa itu.

Dari pengalaman kegagalan itu dia belajar. Maka kini dia lebih memilih menanam bambu betung dan selalu dia tengok seminggu sekali. Memastikan tak ada yang mati, jika ada yang mati maka dia tanam kembali.

newsletter