Ketidakadilan Pembangunan & Ekonomi di NTT Menambah Beban Ganda Masyarakat Hadapi Krisis Iklim

Climate Justice

Ketidakadilan Pembangunan & Ekonomi di NTT Menambah Beban Ganda Masyarakat Hadapi Krisis Iklim

Humanis Foundation

SERUAN ORANG MUDA DAN MASYARAKAT FLOBAMORATAS[1]

Ketidakadilan Pembangunan & Ekonomi di NTT Menambah Beban Ganda Masyarakat Hadapi Krisis Iklim

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai wilayah kepulauan, sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Krisis iklim menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan abrasi pantai. Hal ini berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat, khususnya petani, nelayan, masyarakat urban dan masyarakat adat yang hidup bergantung pada sumber daya alam.

Permasalahan Utama

  1. Ketidakadilan dan Ketidaksetaraan:
  • Kesenjangan Ekonomi dan Sosial: Terbatasnya ruang bagi anak muda dan masyarakat miskin untuk berkembang. Diskriminasi dan keterbatasan informasi menghambat partisipasi mereka dalam pembangunan, khususnya dalam menghadapi tantangan krisis iklim.
  • Diskriminasi Gender: Diskriminasi gender dalam pengupahan di sektor pertanian, di mana perempuan menanggung beban kerja yang sama dengan laki-laki tetapi mendapatkan upah yang lebih rendah, semakin mempersulit perempuan dalam menghadapi dampak krisis iklim.
  • Ketidakadilan dalam Akses Pendidikan: Keterbatasan akses pendidikan, baik karena biaya yang tinggi maupun karena jarak tempuh yang jauh, menghasilkan disparitas pendidikan yang signifikan, mengurangi kemampuan masyarakat dalam menghadapi krisis iklim.
  1. Kurangnya Keterlibatan Masyarakat:
  • Ketidakjelasan Kebijakan dan Regulasi: Kurangnya regulasi yang mengatur masalah lingkungan dan sampah di wilayah pesisir, serta kekurangan kebijakan ekonomi sosial yang memperhatikan usaha kecil, mengakibatkan kerentanan dan menurunkan kemampuan adaptasi masyarakat menghadapi krisis iklim.
  • Minimnya Peran Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan: Absennya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan dan konservasi, yang berujung pada kerugian bagi masyarakat lokal, terutama dalam menghadapi bencana alam akibat krisis iklim.
  • Kesenjangan Akses Layanan Dasar: Keterbatasan akses air bersih, pengelolaan sampah yang kurang memadai, dan infrastruktur yang tidak layak merupakan kendala utama bagi masyarakat, terutama dalam menghadapi dampak krisis iklim.
  1. Ancaman Terhadap Lingkungan dan Ketahanan Pangan:
  • Kerusakan Ekosistem Pesisir: Pembangunan jogging track di wilayah pesisir tanpa memperhatikan aturan peraturan pemerintah dan lambatnya respon pemerintah terhadap pembangunan pemecah ombak mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir, meningkatkan kerentanan terhadap abrasi dan banjir rob.
  • Keterbatasan Tempat Berlabuh Nelayan: Pembangunan di wilayah pesisir menyebabkan hilangnya tempat berlabuh nelayan kecil, mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan masyarakat, terutama dalam menghadapi cuaca ekstrem akibat krisis iklim.
  • Pencemaran Sampah Plastik: Pembuangan sampah plastik secara sembarangan merusak lingkungan dan ekosistem laut, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengurangi kemampuan laut dalam menyerap karbon.
  1. Masalah Masyarakat Adat:
  • Kurangnya Pengakuan dan Perlindungan: Kurangnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat menimbulkan konflik tenurial, perampasan ruang hidup dan kerugian bagi masyarakat adat, terutama dalam menghadapi ancaman terhadap hutan adat dan wilayah adat akibat krisis iklim.
  • Tidak dilibatkan secara bermakna dalam Pengambilan Keputusan: Masyarakat adat jarang dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek konservasi dan pengelolaan hutan adat, mengakibatkan kerugian bagi masyarakat adat, terutama dalam menjalankan praktik kearifan lokal untuk mengatasi dampak krisis iklim.

Orang muda, Petani, Nelayan dan Masyarakat adat Flobamoratas yang berkumpul untuk menyuarakan dan merumuskan 15 poin rekomendasi sebagai berikut:

  1. Mendorong tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan adaptif di wilayah pesisir, hutan adat, dan lahan pertanian, dengan proses perumusan kebijakan yang melibatkan petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan yang terdampak oleh krisis iklim
  2. Menuntut aturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, termasuk hak pengelolaan atas tanah, laut, dan hutan, situs budaya/adat serta memastikan persetujuan/Padiatapa masyarakat adat sebelum adanya pembangunan di wilayah adat, serta disahkannya RUU Masyarakat Adat
  3. Menuntut pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang tidak hanya inklusif, tapi juga berkeadilan. Akses air bersih, listrik, pendidikan, dan kesehatan harus merata di wilayah pesisir, pedesaan, dan perkotaan. Kesejahteraan petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, serta kelompok rentan yang terdampak oleh krisis iklim harus menjadi prioritas utama.
  4. Mendorong kebijakan yang meningkatkan akses energi dengan sumber energi terbarukan yang berkeadilan, terdesentralisasi (bukan skala besar), dengan melibatkan masyarakat dan mengedepankan penghormatan hak asasi manusia, tidak meminggirkan ruang hidup masyarakat adat dan lokal, membawa peningkatan kesejahteraan dan keadilan gender.
  5. Menuntut kesetaraan bagi perempuan yang selama ini mengalami ketimpangan dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pada setiap perencanaan dan implementasi kebijakan di tingkat daerah terkait lingkungan, energi dan sumber daya alam.
  6. Mendorong pemerintah mengimplementasikan sistem pengelolaan sampah yang melibatkan komunitas lokal di pesisir, perkotaan, dan pedesaan untuk menciptakan lingkungan bersih dan sehat dan meminta tanggung jawab produsen diperluas (EPR) dalam pengelolaan sampah dan menciptakan produk ramah lingkungan.
  7. Transparansi adalah fondasi kepercayaan. Kami menuntut agar anggaran pemerintah daerah terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Petani, nelayan, dan masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Dengan begitu, kebijakan yang diambil akan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi warga, bukan hanya sekadar angka di atas kertas.
  8. Hentikan program pertanian monokultur skala besar yang tidak berkelanjutan, seperti TJPS (Tanam Jagung Panen Sapi) dan Food Estate, serta beralih mendukung pengembangan sistem pangan lokal berbasis komunitas dan kearifan lokal
  9. Menegakkan Undang-undang Pokok Agraria yang memberikan kepastian dan perlindungan bagi petani dari konversi lahan, sehingga petani bisa berdaulat atas pangannya sendiri.
  10. Melindungi nelayan kecil dengan memastikan wilayah kelola berbasis kearifan lokal, mencegah privatisasi pesisir, serta menyederhanakan birokrasi bagi nelayan agar perizinan dan administrasi bisa diurus di instansi terdekat tanpa membebani mereka dengan jalur birokrasi yang panjang.
  11. Menyediakan asuransi dan kompensasi atas kehilangan dan kerusakan alat tangkap bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang terkena dampak perubahan iklim.
  12. Menolak proyek pembangunan seperti tambang, geotermal, energi surya skala besar di masa mendatang yang tidak berkeadilan, merusak lingkungan dan meminggirkan kelompok rentan
  13. Memulihkan ekosistem dan hak atas ruang kehidupan masyarakat lokal dan penyediaan dana untuk memulihkan dampak kesehatan, degradasi lingkungan, dan kehilangan mata pencaharian akibat proyek pembangunan yang tidak berkeadilan dan meminggirkan hak kelompok rentan seperti tambang, geothermal, energi surya skala besar, dll, serta mendorong transisi energi berkeadilan
  14. Membenahi tata niaga, stabilitas harga pangan sebagai mekanisme perlindungan untuk petani, nelayan dan konsumen, serta transparansi data dan akuntabilitas kebijakan pangan yang dikelola secara inklusif, transparan dan akuntabel.
  15. Mendorong dibentuknya regulasi setingkat undang-undang yang dapat menjawab persoalan krisis iklim secara holistik dengan memprioritaskan substansi dan dimensi keadilan iklim, meliputi keadilan rekognisi, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif, serta keadilan gender.

 

Maumere, 26 September 2024

Tertanda

Orang muda, Petani, Nelayan dan Masyarakat adat Flobamoratas

[1] Flobamoratas adalah singkatan nama pulau – pulau besar yang ada di.Nusa Tenggara Timur (Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, Lembata, dan Sabu)

newsletter