Climate Justice | March 8, 2024
Kisah Andika Menanam Sorgum di Negeri Batu Cadas
Humanis Foundation
Penulis: Muammar Fikrie
Petani Sorgum. Begitu Andika (26) menuliskan profilnya pada tiap akun media sosial miliknya. Ia mengaku bangga menanam sorgum, tanaman pangan serbaguna yang telah lama terpinggirkan.
“Sorgum pernah ada di sini, menurut cerita dari orang-orang tua kami. Tapi waktu saya lahir sudah tidak ada sorgum. Sekarang kita perkenalkan dan tanam kembali,” kata Andika ihwal sorgum yang sempat menghilang dari kampung halamannya.
Desa Tapobali. Kampung halaman Andika. Sebuah daerah yang oleh penduduknya disebut sebagai Negeri Batu Cadas; lantaran dikelilingi oleh bebatuan yang jadi benteng alam di pesisir selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Dahulu, warga lebih fokus menanam jagung dan padi ladang. Belakangan, masalah cuaca yang dipicu oleh perubahan iklim membuat musim tanam bergeser. Sebelumnya, musim hujan terjadi pada Oktober hingga Maret. Kini berubah jadi November sampai April.
Situasi itu bikin warga berpikir untuk alih komoditas. Sorgum pun menjadi pilihan pangan yang penting bagi warga. Sorgum bukanlah tanaman pangan baru bagi warga NTT. Dahulu, tanaman ini pernah tumbuh subur sebelum “digusur” paksa oleh pemerintah Orde Baru yang menyeragamkan standar pangan dengan padi.
Mungkin, tanah NTT rindu ditanami sorgum. Mungkin, tanah NTT ingin orang-orang memiliki pilihan dan sumber tanaman pangan lain, agar kesinambungan hidup antara manusia dan alam bisa berlanjut panjang.
***
Andika merupakan salah seorang tokoh pemuda di Tapobali. Pada 2016, saat berusia awal 20-an, ia merantau ke Malaysia untuk menjadi pekerja migran di perkebunan sawit. Pilihan macam ini acap kali diambil anak muda Tapobali. Keterbatasan ekonomi, dan minimnya pekerjaan yang dianggap layak membuat mereka banyak meninggalkan kampung untuk mencari penghidupan lain.
Belakangan Andika kaget saat menghadapi kenyataan sebagai buruh perkebunan. Ia berpikir apa yang dilakukannya di Malaysia tak berbeda dengan di kampung halaman. Kerja di tanah rantau bikin dompet terisi, tetapi kesulitan dan risiko kerja juga besar belaka. Di kampung, uang mungkin tak banyak, tetapi tidak pula merasa kekurangan.
“Saya cabut rumput di Malaysia. Saya pikir-pikir, rumput di Malaysia dan Indonesia sama. Lebih baik saya cabut rumput di kampung. Saat ini banyak anak muda yang merantau kerja di sawit. Mereka memilih jadi kuli di negeri orang, dari pada jadi petani merdeka di kampung sendiri,” katanya.
Tak lama setelah balik ke Desa Tapobali, Andika mulai berkenalan dengan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (YASPENSEL). Organisasi ini berfokus pada isu sosial, ekonomi, dan lingkungan di NTT. Mereka kerap mendampingi warga di pesisir NTT; termasuk warga Tapobali di bidang pertanian.
Pada medio 2018, Yaspensel menyokong usaha menanam sorgum di Desa Tapobali. Andika jadi salah seorang anak muda yang mencoba tanam sorgum. “Kami bagi hasil dengan Yaspensel yang memberi modal,” kata Andika.
Usai uji coba penanaman sorgum berhasil, proyek ini kian ditingkatkan. Yaspensel juga bergabung dengan Koalisi Pangan Baik dan menjadi bagian dari aliansi Voices for Just Climate Action, sebuah aliansi organisasi nonpemerintah yang berfokus untuk mengampanyekan suara-suara aksi perubahan iklim berkeadilan (Voices for Just Climate Action).
Andika pun terlecut untuk mendorong terbentuknya Gebetan. Itu merupakan sebuah akronim dari “Gerep Blamu Tapobali Wolewutun” alias muda-mudi Tapobali ujung kampung.
Kelompok yang berisikan belasan anak muda Tapobali ini aktif memperkenalkan kembali sorgum ke warga. Kini sekitar 80 persen petani di Desa Tapobali mulai melirik sorgum.
Gebetan juga mengelola sebuah lahan kolektif yang hasilnya untuk dibagi bersama. Salah satu komoditas andalan mereka ialah kopi sorgum, sebuah perpaduan antara kopi dan sorgum.
Gebetan beroleh kopi dari petani di Desa Botu, Pulau Lembata. Bahan baku kopi disandingkan dengan sorgum. Campurannya tiga berbanding satu. Tiga kilogram sorgum. Plus satu kilogram kopi.
Sorgum berperan sebagai pemanis dalam campuran kopi ini. Sudah banyak riset yang menunjukkan sorgum jauh lebih baik dibanding gula.
Kelompok Gebetan juga bekerjasama dengan ibu-ibu di desa Tapobali. Mereka memperkenalkan sorgum sebagai sumber pangan untuk mengantisipasi stunting. Mereka pun mengajarkan cara pengolahan sorgum sebagai bahan pangan.
“Karena sorgum ini sempat hilang dari kampung kami, maka Gebetan menggali lagi model-model pengolahan sorgum ini dan memperkenalkannya kembali kepada warga,” kata Andika.
“Kami juga mencoba jenis-jenis tanaman lain yang mulai langka seperti jali-jali,” sambungnya.
***
Laba dari penanaman dan penjualan sorgum juga dipakai untuk membiayai kegiatan Gebetan dan warga. Salah satunya untuk mengongkosi revitalisasi sumber mata air di Desa Tapobali.
Keputusan melakukan revitalisasi mata air ini diambil setelah melakukan diskusi bersama warga Tapobali–yang didorong lewat program Koalisi Pangan Baik–pada medio 2022. Saat itu, warga mengeluhkan satu sumber mata air pertama di desa yang telah menyusut volume airnya.
Padahal sumber air sangat penting untuk kelangsungan hidup, terutama untuk konsumsi sehari-hari dan pengairan untuk komoditas pertanian. Dari situlah muncul inisiatif untuk menghidupkan kembali sumber mata air pertama di Desa Tapobali.
Dalam diskusi mereka bertemu fakta bahwa satu rumpun bambu yang sehat menghasilkan 5.000 liter air di masa mendatang. Gebetan pun menjadi motor penggerak utama untuk melakukan penanaman bambu di Desa Tapobali.
Hingga pengujung 2023, lebih dari 1.000 anakan bambu sudah ditanam. Modalnya bersumber dari hasil tanam sorgum yang dilakukan oleh Gebetan dan patungan warga.
Andika bilang dampak krisis iklim telah dirasakan oleh warga kecil, seperti di Tampobali. Kelangkaan sumber air, cuaca yang tak menentu, hingga perubahan musim tanam telah nyara dirasakan.
“Yang kami lakukan hanya bagian kecil untuk mitigasi perubahan iklim. Namun jika kami di tempat kecil ini bisa bergerak dan beraksi. Ini harusnya jadi pemacu bagi anak muda di tempat lain,” ujar Andika.