Civic Rights in A Digital Age (CRIDA) | January 21, 2025
Kita Tidak Hidup di Planet Berbeda: Temu Pikir Ruang Sipil dan Aktivisme Iklim
Nisrina Nadhifah Rahman
Keadilan iklim tidak hanya berkaitan dengan tantangan ekologi dan lingkungan tetapi juga erat hubungannya dengan hak kebebasan sipil. Hak kebebasan sipil yang inklusif dan terlindungi menciptakan ruang di mana masyarakat bisa terlibat dalam menyuarakan isu-isu kritis, termasuk aksi iklim, perlindungan lingkungan, dan menuntut keadilan.
Dalam rangkaian acara Indonesia Climate Week yang diadakan oleh Aliansi VCA Indonesia pada tanggal 14 Desember 2024 lalu, salah satu projek terbaru Humanis bernama Connect, Defend, Act! (CDA) turut menggelar diskusi berjudul “Kita Tidak Hidup di Planet Berbeda: Temu Pikir Ruang Sipil dan Aktivisme Iklim”. Dengan dihadiri 11 individu, diskusi yang dilakukan secara intim tersebut berbagi mengenai aktivitas iklim, peran masyarakat sipil, dan keterlibatan pemerintah dalam upaya advokasi iklim di Indonesia.
Ruang ini mengamini bahwa krisis iklim erat hubungannya, dan merupakan, isu hak asasi manusia. Dengan kerangka berpikir yang kerap disebut sebagai keadilan iklim ini, dampak perubahan iklim yang tidak proporsional dapat tersorot. Misalnya, masyarakat terpinggirkan seperti perempuan di negara berkembang memiliki kerentanan spesifik terhadap krisis iklim, misalnya nelayan perempuan di pesisir yang bebannya tak hanya untuk menangkap hasil laut, tapi harus juga membersihkan dampak banjir rob sambil harus berjuang untuk mendapat pengakuan sebagai nelayan. Begitu pula dengan kelompok rentan lainnya, seperti masyarakat adat, kelompok ragam gender dan seksualitas, dan kelompok disabilitas.
Dengan kerangka keadilan iklim, peran-peran mereka pun tak lagi dipandang sebelah mata dan luput dari perbincangan mengenai krisis iklim. Tak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi karbon semata, keadilan iklim menekankan pentingnya integrasi hak asasi manusia, gender, dan keberagaman ke dalam kebijakan iklim yang inklusif dan sensitif terhadap kemampuan adaptasi dari kelompok terdampak.
Peserta menyoroti perlunya keterlibatan orang muda yang lebih besar dan bermakna dalam lingkaran masyarakat sipil, termasuk dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Walaupun kerap jadi pembahasan di mana-mana selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, namun peran orang muda acap kali masih terpenjara pada peran pasif dalam mobilisasi massa, sedangkan pengambilan keputusan masih cenderung didominasi oleh tokoh senior. Padahal, para aktivis iklim muda telah berhasil menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membangun solidaritas lintas sektoral melalui kampanye di media sosial, mengintegrasikan isu-isu seperti hak asasi manusia, hak-hak perempuan, hak masyarakat adat, dan perampasan tanah sebagai bagian dari keadilan iklim.
Dalam diskusi muncul juga topik mengenai kebutuhan untuk bermitra dengan pemerintah, pandangan peserta cukup beragam: beberapa mendukung keterlibatan minimal untuk memastikan pemerintah tetap mendapat informasi, sementara yang lain menekankan pentingnya kolaborasi di tingkat lokal, di mana pemerintah lebih dihormati dan dipercaya oleh kelompok masyarakat. Banyak juga yang berkata sebaliknya. Kolaborasi dengan pemerintah pusat (nasional) dianggap tidak terlalu efektif karena seringkali hanya bersifat “basa-basi” tanpa hasil nyata yang konsisten dan berpihak pada rakyat, terutama di tengah kebijakan pemerintah mengenai iklim dan lingkungan yang kental dengan semangat ekstraktivisme.
Keterhubungan antar komunitas dipandang peserta sangat penting untuk memperkuat advokasi dan keberlanjutan gerakan sosial. Inisiatif seperti menghubungkan kelompok pemimpin perempuan lokal di berbagai wilayah untuk saling berbagi kisah-kisahnya meruntuhkan patriarki sesuai konteks perjuangan masing-masing ditekankan dalam diskusi ini.
Menyoroti cerita-cerita keberhasilan dan kemandirian kelompok lokal dalam mempertahankan haknya, beradaptasi, hingga memperkuat gerakan akar rumput menjadi bahan bakar utama untuk terus menjaga nyala perjuangan yang tak hanya bergantung kepada momentum tertentu. Menjelang akhir, diskusi juga menyoroti kebutuhan untuk memperkuat jaringan internal masyarakat sipil dan mendukung keberlanjutan komunitas lokal. Pendekatan dari bawah ke atas, di mana gerakan lokal menjadi contoh, dianggap lebih efektif daripada pendekatan nasional yang sering kurang kontekstual. Kerja perawatan, mentoring, dan pengembangan kapasitas jangka panjang masih kurang diperhatikan, padahal esensial untuk keberlanjutan gerakan, penguatan agensi ragam kelompok, serta ko-kreasi solusi (terutama soal iklim) yang berbasis kebutuhan dan konteks.
Apa yang didiskusikan pada “Kita Tidak Hidup di Planet Berbeda: Temu Pikir Ruang Sipil dan Aktivisme Iklim”, relevan dengan temuan Studi Baseline Connect, Defend, Act! (CDA) yang menemukan bahwa rerata aktivisme iklim sering kali beroperasi”titik destruksi” (points of destruction)[1] seperti desa, lahan pertanian, dan hutan, di mana perlawanan terhadap perampasan lahan dan eksploitasi lingkungan berlangsung. Upaya-upaya aktivisme dihadapkan pada tantangan struktural, termasuk kebijakan pemerintah yang mendukung ekstraktivisme dan penyusutan ruang gerak sipil melalui serangan fisik, pelecehan yudisial, dan intimidasi digital. 
Untuk melawan tren ini, strategi seperti membangun kapasitas komunitas lokal, mendukung inisiatif akar rumput, dan menjalin aliansi lintas sektor menjadi prioritas. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat sipil untuk tidak hanya mempertahankan ruang ekologis mereka tetapi juga menumbuhkan solidaritas yang mendukung advokasi iklim secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, keterhubungan ruang sipil dan aktivisme iklim menuntut pendekatan yang memadukan etika kepedulian, solidaritas lintas wilayah, dan kemampuan untuk mengintegrasikan perspektif lokal dan global. Inilah kunci untuk melawan eksploitasi lingkungan, memperkuat suara komunitas lokal, dan memperluas dampak gerakan iklim di tingkat yang lebih luas.
Tak padam dan malah berlipat ganda, semangat ini muncul di dalam diskusi ini dan mengantarkan masyarakat sipil dan aktivis untuk terus memperjuangkan hak-hak kita untuk aman dari dampak krisis iklim.
***
Lengkapnya mengenai studi Studi Baseline Connect, Defend, Act! (CDA), dapat diunduh di: https://humanis.foundation/publication/adu-jitu-melawan-otokrat/ (Bahasa Indonesia) dan https://humanis.foundation/publication/outsmarting-and-outlasting-autocratic-actors/ (Bahasa Inggris)
—-
[1] Titik Intervensi atau Points of Intervention adalah sebuah kerangka konseptual dari Studi Nirkekerasan yang memetakan titik-titik dalam sistem yang perlu disasar guna melumpuhkan lawan, yaitu titik produksi, titik destruksi, titik konsumsi, titik keputusan, titik asumsi, dan titik peluang (lihat Reinsborough & Canning 2017).