Climate Justice | March 19, 2024
Tangedu Tidak Gentar, Tanggedu Beradaptasi dengan Iklim
Humanis Foundation
Oleh Alfa Gumilang
Di antara bentangan padang savana di Sumba Timur, ada satu desa yang berada di lembah bukit-bukit. Di antara terik matahari dan tanah kering yang seperti memantulkan panas, ada satu oasis yang menyegarkan.
***
Tenggedu dalam bahasa lokal disebut da ku nggedik, yang artinya tidak goyah atau tidak gentar. Bagi saya yang baru pertama kali ke Sumba Timur dan pertama kali pula ke Tanggedu, memang tak boleh gentar untuk mencapai lokasi tersebut.
Dari Kota Waingapu, menempuh sekurangnya dua jam perjalanan melewati liuk padang savana untuk sampai ke Desa Persiapan Tanggedu. Sepanjang perjalanan, mata seperti tak bisa berhenti mengagumi alam Sumba. Dari desa itu, butuh tiga puluh menit berjalan kaki untuk menuju oasis yang menyegarkan. Air terjun Tanggedu.
Menjadi objek wisata sejak 2014 dengan tarif Rp10.000,- per orang. Air terjun Tanggedu mampu memberikan pemasukan rata-rata Rp4-5 juta per bulan, dan akan meningkat dimusim kemarau. Yang kemudian dibagi untuk beberapa pihak. Salah satunya sebesar 60% itu diberikan kepada pemilik lahan. Sisanya 25% itu menjadi pendapatan desa, dan 15% dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), yang juga digunakan untuk kebutuhan sosial masyarakat.
“Semua komponen masyarakat mendapatkan bagian, hasil dari pengelolaan wisata bersama ini,” ujar Kabula Hara Endi, Pejabat Kepala Desa Persiapan Tanggedu.
Menurutnya, menjadikan air terjun Tanggedu sebagai objek wisata membutuhkan proses negosiasi dengan warga. Terutama kepada pemilik lahan yang tanahnya dijadikan sebagai tempat parkir atau tempat bangunan wisata.
“Kami adakan pendekatan dan memberikan pemahaman bagaimana baiknya karena ini potensi kita bersama. Sehingga warga bersedia memberikan lahannya,” sambungnya.
Pelibatan warga sejak awal menjadi hal mendasar dan penting. Dalam berbagai proses perencanaan pengembangan air terjun Tanggedu ke depan, warga juga terlibat penuh melalui Pokdarwis. Warga yang membangun, warga yang menjaga dengankearifan lokal, warga juga yang menjaga agar ekosistem yang ada di sekitar tak rusak oleh adanya pembangunan, terutama dari pihak luar. Begitu kiranya ide warga tentang eko-wisata air terjun Tanggedu.
“Pernah ada pihak luar yang menawar untuk membeli tanah, tapi kami tolak. Kami ingin anak cucu kita punya ikatan dengan air terjun Tanggedu,” pungkas Kabula Hara Endi.
Kolaborasi Masyarakat, CSO, dan Pemerintah
Dahulu, pengelolaan air terjun Tanggedu benar-benar murni dari masyarakat sekitar. Jalan setapak menuju ke air terjun masih berupa tanah dan bebatuan yang hanya dibatasi dengan tali. Papan informasi masih seadanya, dan juga tidak ada aturan tentang tiket masuk.
Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda) yang berlokasi di Waingapu, Sumba Timur, melihat potensi besar dari air terjun Tanggedu jika terdapat pengelolaan yang jelas dan berorientasi pada terjaganya ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Berdialog dengan masyarakat, mendorong dan melakukan pendampingan pembangunan eko-wisata yang berbasiskan kearifan lokal.
“Pemerintah desa dan pemda, dan dari kementerian desa mendukung pariwisata di sini. Hingga muncul peraturan desa pertama di Sumba Timur tentang eko-wisata berbasis masyarakat adat,” ujar Umbu Tri, dari Yayasan Koppesda.
“Kalau tidak ada teman-teman dari yayasan Kopesda kami mungkin akan kesulitan. Kami juga buta. Untuk melakukan konsultasi dengan Pemda Kabupaten Sumba Timur di Waingapu, kami pasti kesulitan,” sambung Kabula Hara Endi, menimpali cerita Umbu Tri.
Sarana dan prasarana mulai dibangun pada 2021, hasil dukungan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dana bantuan sebesar Rp500 juta digunakan untuk membangun gazebo di pintu masuk menuju air terjun, kamar mandi, tangga menuju air terjun, area parkir, dan berbagai fasilitas lainnya.
Keberadaan tempat wisata air terjun Tanggedu menjadi satu bentuk adaptasi masyarakat adat di Tanggedu atas berbagai kondisi alam di Sumba Timur. Kemarau panjang dan serangan hama belalang sejak 2019 hingga 2023 menggagalkan pertanian. Ketika air terjun Tanggedu mulai dikelola dengan baik, ia mampu menopang kehidupan ekonomi warga.
Selain dari pembagian hasil tiket dan parkir di lokasi, warga juga mendapatkan kesempatan memperoleh pendapatan dengan menjadi ojek, berjualan kelapa, jagung, kacang, hingga menjadi pemandu wisata.
“Eko-wisata ini sangat terasa manfaatnya bagi masyarakat. Dan yang penting ada rasa kepemilikan bersama terhadap tempat ini,” kata Kabula Hara Endi.
Masyarakat Terlibat, Masyarakat Menerima Manfaat
Ada sekitar 110 kepala keluarga atau sekitar 300-an jiwa di desa Tanggedu. Para tetua adat, pemuda adat, perempuan adat, semua terlibat dan mendukung keberadaan wisata air terjun Tanggedu. Pertanian tak lagi menjadi sumber ekonomi utama, kehadiran tempat wisata menambah sumber ekonomi bagi masyarakat, termasuk orang muda di Desa Tanggedu.
Orang muda di sini semua petani. Dengan adanya pariwisata ini, orang-orang muda mendapatkan tambahan pemasukan. Sebagai jasa ojek motor dan juga sebagai pemandu wisata untuk tamu yang datang. Orang muda menjadi bagian dari pariwisata ini. Seperti membantu melaksanakan program atau menjaga kebersihan air terjun Tanggedu.
“Anak muda sangat mendukung sekali. Saling membantu kalau ada program seperti ini. Orang tua dan tokoh Masyarakat Adat juga saling membantu dan saling menopang,” ujar Melvi Pombu Henggu Ndapatamu, pemuda adat dari Tanggedu yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pokdarwis.
***
Airnya berwarna hijau, bayak bebatuan besar di sungai, dan banyak area sungai yang seperti kolam-kolam. Di situ biasanya para wisatawan mandi menikmati kesegaran. Perjalanan panjang yang panas, seperti terbayar tuntas.