Menelisik Keadilan Di Dalam Transisi Energi  di Cirebon

Climate Justice

Menelisik Keadilan Di Dalam Transisi Energi  di Cirebon

Sri Handayani Nasution

Pada tengah hari kami tiba di Desa Waruduwur, Cirebon, panasnya Cirebon semakin menyesakkan ketika kami semakin dekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1. Kami disambut dengan suara mesin yang terdengar jelas sampai ke pemukiman warga. Hanya dengan menengadah ke atas, cerobong asap PLTU 1 tampak berdiri, tak jauh dari pemukiman warga, asap berwarna hitam mengepul dari ujungnya.  

Desa Waruduwur adalah sebuah desa yang berlokasi tepat bersebelahan dengan PLTU 1 Cirebon yang berdasarkan kesepakatan antara Asian Development Bank (ADB) bersama dengan PT Cirebon Electrict Power dan Indonesia Investment Authority (INA) akan dipensiun dinikan pada tahun 2035, yaitu 7 tahun lebih awal daripada yang seharusnya. 

Gambar 1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Cirebon berdiri dekat dengan rumah masyarakat.

Indonesia tengah menggadang-gadang upaya melakukan transisi energi menuju energi yang lebih bersih. Saat ini, sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar kedua di Indonesia. Menurut Centre for Research on Energy and Clean Air  (CREA), PLTU 1 Cirebon mengeluarkan 90-kilogram zat merkuri ke udara setiap tahunnya.[1] Zat ini di samping rangkaian zat beracun lainnya seperti nitrogen dioksida (NO2), belerang dioksida (SO2), arsenik, kadmium and konsentrasi partikulat atau PM2.5.[2] 

Transisi energi harus dilakukan dengan berkeadilan, memperhitungkan tidak hanya konteks dampak lingkungan namun juga dampak terhadap sosioekonomi masyarakat paling terdampak di sekitar situs transisi. Salah satunya adalah upaya pensiun dini PLTU 1 Cirebon dengan ADB sebagai salah satu lembaga pendukung finansial. Penting kemudian untuk mempertanyakan letak keadilan dalam istilah Transisi Energi Berkeadilan  (Just Energy Transition) yang rencananya akan diimplementasikan oleh Indonesia.  

Indonesia telah menandatangani Persetujuan Paris atau Paris Agreement pada tahun 2016, dengan salah satu butirnya yang menyentuh penurunan emisi gas rumah kaca. Tahun 2023 pun Indonesia membentuk Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai salah satu upaya membantu akselerasi target ambisius emisi nol bersih di tahun 2060.  

Namun, informasi ini sayangnya tak hadir dan tersampaikan kepada masyarakat di sekitar PLTU 1 Cirebon, termasuk situs yang kami datangi yaitu Desa Waruduwur dan Desa Kanci Kulon. Padahal, transparansi dan pelibatan masyarakat sekitar adalah langkah awal untuk memastikan terjadinya transisi energi berkeadilan dan merupakan kewajiban dalam Energy Transition Mechanism (ETM – Mekanisme Transisi Energi) dari ADB[3] yang menjadi bagian dari Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif  JETP. Selain itu, keadilan dalam transisi energi tidak akan dapat tercapai jika masalah-masalah yang ada sekarang ini tidak terselesaikan.  

Ketidakadilan yang Hadir Sebelum Transisi Energi Dilakukan 

Ketika bertukar cerita dengan masyarakat Desa Waruduwur, kami menemukan ketidakadilan dan dampak buruk kepada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang selama ini terjadi sejak PLTU 1 dibangun.  

Masyarakat Waruduwur yang sebagian besar adalah nelayan harus kehilangan sumber pendapatan karena hasil tangkapan menurun akibat dari pencemaran lingkungan dari limbah PLTU 1. Ketika transisi energi dalam proyek PLTU 1 Cirebon baru dapat diselesaikan pada tahun 2035, masyarakat masih harus menanggung ketidakadilan ini setidaknya dalam satu dekade ke depan.  

Dampak lain dari pencemaran lingkungan adalah memburuknya kesehatan masyarakat di sekitar PLTU. Ketika masyarakat terpapar kualitas air yang buruk, kegiatan memasak makanan menjadi lebih sulit karena masyarakat terbebani secara finansial ketika harus terus menerus membeli air galon. Tak hanya dari air, masyarakat juga harus terpapar polusi suara selama hampir 24 jam PLTU 1 beroperasi yang mengganggu aktivitas warga sekitar.[4]  

“Kalau minum sih nggak. Kalau masak sih nggak. Buat nyuci dan mandi doang. Kalau masak itu pakai air galon. Makanya di sini pengeluaran banyak.”, ucap Ibu T, nelayan perempuan yang mengeluhkan kualitas air yang memburuk.  

Begitu pula dengan kualitas udara. Masyarakat sekitar harus menghirup udara, residu pembakaran batu bara, dan emisi zat beracun dari limbah PLTU yang menyebabkan penyakit paru dan pernapasan.[5] 

Pencemaran lingkungan ini juga berdampak kepada hasil laut yang ditangkap oleh para nelayan. Selain hasil laut yang semakin menurun, para nelayan yang menangkap hasil laut harus menjadi semakin waspada karena seringkali tidak layak untuk dimakan dan terdapat risiko terjadinya keracunan makanan.[6] 

 Menelisik Aspek Gender Dalam Transisi Energi di Cirebon 

“Udahnya ada PLTU 1 dan 2 tuh jauh, kurangnya jauh”, tutur Ibu N, seorang nelayan perempuan, ketika ditanyakan dampak adanya PLTU terhadap tangkapan hasil laut miliknya. 

Sensitivitas gender kemudian juga harus menjadi elemen yang integral dalam transisi energi berkeadilan, bukan hanya tempelan atau tambahan di akhir saja. Nelayan perempuan yang sumber penghasilannya dari menangkap ukon (sejenis kerang) dan harus melaut lebih jauh karena tempat menangkap ukon di dekat PLTU 1 Cirebon berlumpur hingga setinggi pinggang. Padahal, para nelayan perempuan ini juga menjadi tulang punggung keluarga tunggal sekaligus mengenyam beban domestik tradisional ketika para suami tak mendapatkan uang dari hasil melaut mereka. 

Tak hanya nelayan perempuan, banyak ibu-ibu dan perempuan yang masih mengenyam beban ganda sebagai tulang punggung dan sebagai ‘istri’ atau ‘ibu’ yang sarat akan peran tradisional perempuan. Banyak perempuan yang tinggal di sekitar PLTU 1 bekerja sebagai buruh pengupas kerang untuk membiayai keluarga dan kesejahteraan anak mereka, namun tetap mengerjakan pekerjaan domestik di rumah.  

Para perempuan buruh pengupas kerang ini harus bekerja lebih dari 12 jam sejak pukul 3 dini hari. Hal ini berdampak kepadak esehatan yang dirasakan para perempuan yang harus terpapar amis dan kontak langsung kepada hasil laut yang menyebabkan rasa sakit kepada kulit mereka. Para buruh pengupas kerang perempuan ini juga mengeluhkan sakit punggung yang terjadi karena harus duduk sepanjang hari tanpa henti. 

Terkait partisipasi, para perempuan ini sayangnya tidak diundang dalam kanal-kanal pertemuan formal maupun informal yang terjadi di desa. Hal itu menyebabkan banyak permasalahan perempuan yang kami temukan kemudian tidak dianggap sebagai beban yang harus ditanggung dan diadvokasikan secara bersama-sama. Kalaupun pada akhirnya sosialisasi dari pihak pemangku kepentingan mengenai transisi energi terjadi, kemungkinan para perempuan dilibatkan dalam forum sangat kecil. 

Tak banyak kemudian penelitian konteks yang spesifik mengacu kepada beban ganda dan dampak dari energi tidak terbarukan kepada perempuan dalam konteks pensiun dini PLTU 1 Cirebon. Ketiadaan penelitian serta analisis konteks dengan perspektif gender dapat mengaburkan permasalahan yang dialami oleh perempuan di sekitar PLTU 1 selama ini. Tanpa adanya data, kebijakan yang dirumuskan akan sulit mengakomodasi kebutuhan perempuan dalam transisi energi.  

Merumuskan Transisi Energi yang Adil dan Sensitif Gender 

Karena itu, sosialisasi dan transparansi di awal dan sepanjang transisi energi saja tidak cukup. Pemberdayaan dan keadilan untuk masyarakat di sekitar PLTU 1, baik sebelum transisi energi maupun sesudahnya, harus diperhatikan.  

Misalnya, proses reparasi yang tidak performatif untuk masyarakat yang terdampak selama ini harus dilakukan selama proses pensiun dini ini. Proses pemantauan dan evaluasi inisiatif yang dilakukan oleh pihak pemangku kepentingan pun harus terus dilakukan untuk memastikan reparasi benar-benar sampai kepada masyarakat yang paling terdampak.  

Aspek gender juga harus menjadi aspek utama ketika pemerintah dan para pemangku kepentingan ingin merealisasikan transisi energi yang berkeadilan, bukan hanya ‘tempelan’ saja.  

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah memastikan terdapatnya penelitian yang memperhatikan aspek gender atau gender disaggregated data dalam kajian konteks maupun kebijakan. Hal ini menjadi penting agar permasalahan dan kebutuhan perempuan dalam transisi energi dapat muncul dan diakomodasi dalam perumusan kebijakan di masa depan.[7]  

Saat ini, dampak energi tidak terbarukan kepada lelaki dan perempuan sangat berbeda karena peran-peran tradisional yang disematkan kepada keduanya. Dengan memahami perbedaan dampak ini, di masa depan kebijakan yang dirumuskan dapat lebih mengakomodasi dan meningkatkan agensi perempuan di dalam lanskap transisi energi.  

Pada akhirnya, tak akan ada keadilan yang dicapai di masa depan ketika permasalahan pada saat ini diabaikan dan diacuhkan. Proses pensiun dini yang adil tidak hanya terjadi satu dekade lagi, namun sudah dapat dimulai dari tahap inisiasi ini.  

[1] https://www.thejakartapost.com/longform/2023/08/31/silent-invisible-danger-at-cirebon-coast.html

[2] https://www.thejakartapost.com/longform/2023/08/31/silent-invisible-danger-at-cirebon-coast.html

[3] NGO Forum On ADB (2022),  The Asian Development Bank’s Energy Transition Mechanism,

[4] Saputra et al (n.d). Potret Transisi Energi Indonesia Dampak Sosial Ekonomi di Akar Rumput Wilayah PLTU Cirebon.

[5] https://theprakarsa.org/indonesias-cirebon-1-coal-power-project-highlights-gaps-in-adbs-coal-to-clean-etm-scheme/

[6] https://theprakarsa.org/indonesias-cirebon-1-coal-power-project-highlights-gaps-in-adbs-coal-to-clean-etm-scheme/

[7] https://75inq.com/gender-and-the-energy-transition-the-hidden-face-of-women-in-energy-poverty/

 

 

newsletter