Cerita Orang-Orang Muda di NTT: Ingin Mandiri dan Bertumbuh dalam Melakukan Aksi Iklim

Climate Justice

Cerita Orang-Orang Muda di NTT: Ingin Mandiri dan Bertumbuh dalam Melakukan Aksi Iklim

Alfa Gumilang

Gambar 1. Foto bersama para peserta Jambore GRUF di Kabupaten Alor, NTT

Selama lima hari penyelenggaraan Jambore Gotong Royong untuk Flobamoratas (GRUF), Eda yang menjadi ketua panitia, nampak sibuk, wara-wiri di area Pantai Sebanjar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu karena ia harus memastikan semua acara berlangsung dengan lancar.

Tapi, di balik kesibukannya tersebut ia masih terus ceria dan energik. Bahkan di malam hari, di samping dapur, di tengah peserta yang antre makan, ia masih bisa berjoget berdansa. Tipikal orang muda di NTT, yang tak bisa diam ketika mendengar suara musik dan tipikal orang muda pada umumnya yang tak mengenal kata lelah. Bergerak terus.

Sore itu ketika melihat dia sedang berdiri memainkan gawainya, saya minta dia untuk wawancara. Ini sudah kesekian kalinya saya minta, dan akhirnya ia penuhi.

“Ada waktu sebentar kita ngobrol soal Next Level Grant Facility VCA (NLGF)?” tanya saya.

“Ada, kakak. Tiga puluh menit cukup lah ya,” jawabnya.

“Ok cukup. Ayo kita ngobrol di warung saja. Aku traktir kamu teh jahe.”

Dan akhirnya wawancara pun terjadi hampir satu jam.

***

Nama lengkapnya Magdalena Tukan, panggilannya Eda. Orang asli Larantuka, NTT. Pada Jambore GRUF di Sumba tahun 2024, ia dipercaya memimpin Komite Eksekutif Flobamoratas (KEF). Sebuah organisasi jaringan komunitas NTT yang merupakan “anak kandung” Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI) yang sejak 2021 merupakan mitra Voices for Just Climate Action (VCA) di Indonesia.

Di bawah KEF, ada Komite Eksekutif Daerah (KED) yang tersebar di 12 kabupaten/kota di NTT yang merupakan simpul-simpul gerakan dan terdiri dari puluhan komunitas. Jaringan orang muda yang bicara tentang aksi iklim, yang bisa diklaim sebagai yang terbesar di NTT, atau bahkan di Indonesia.

KEF mendapat dukungan pendanaan langsung dari NLGF Indonesia yang merupakan fasilitas dana hibah yang fokus mendukung aksi iklim berbasis lokal di tingkat komunitas serta dana darurat untuk pembela lingkungan dan bencana iklim.

Di Indonesia, dana ini diselenggarakan oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial dan dikelola oleh The Samdhana Institute. KEF mendapatkan sekitar 9453 Euro, atau kurang lebih 120 juta rupiah setelah melalui seleksi dengan lebih dari 200 pendaftar lainnya. Bukan jumlah dana yang bombastis, tapi diyakini akan mampu menjadi salah satu cara bagi KEF untuk mendorong kemandirian organisasi dan aksi iklim berbasis lokal. Uang itu didistribusikan ke tujuh KED saja, karena lima KED lain telah memiliki dukungan pendanaan lain. Begitu cara KEF mendistribusikan pendanaan langsung secara adil.

Melalui dukungan dana NLGF, KED Alor berhasil mengembangkan 52 media tanam terumbu karang berbahan semen dan besi (spider web). Sebanyak 100 bibit karang jenis acropora sp. Ditanam di media-media tersebut dan diletakkan di perairan Pantai Maimol, Kelurahan Kabola, Kalabahi.

Penggunaan media tanam spider web menjadi pilihan karena bahan mudah didapat, konstruksi mudah, dan pengangkutan bahan ke lokasi rehabilitasi tidak memerlukan upaya besar. Pemantauan dilakukan 3-4 kali sebulan untuk memastikan terumbu karang tumbuh dengan baik.

“Biasanya transplantasi terumbu karang dengan metode ini bisa tumbuh bagus, jarang yang gagal, jika monitoring rutin dilakukan. Media tanam dipasang di kedalaman 3 – 7 meter untuk menghindari kerusakan akibat penangkapan ikan”,  ujar Gerson, anggota KED Alor.

Aksi ini sebagai upaya pemulihan dan perluasan kawasan asri terumbu karang yang dibingkai dalam ekowisata transplantasi karang. “Rencana ke depan kami akan kolaborasi dengan sekolah-sekolah untuk edukasi terkait terumbu karang. Sebagai basis produksi KED Alor, kami akan kembangkan bisnis adopsi terumbu karang, seperti paket penanaman terumbu karang, untuk masyarakat umum, bekerja sama dengan homestay untuk promosi”, sambung Gerson.

KED Maumere membuat produk virgin coconut oil (VCO). Dari hasil diskusi dan monitoring, usaha produksi tersebut berjalan dengan baik, produknya sudah bertemu dengan pelanggan dan bahkan sudah repeat order.

Basis produksi yang sama juga dibuat oleh KED Nagekeo. VCO yang mereka buat sudah terjual dan dalam berbagai acara Koalisi KOPI selalu ditampilkan.

“Kalau di KED Bajawa itu membuat produk kopi. Yang menarik, saat launching mereka menggunakan media massa lokal untuk promosinya,” ujar Eda.

Bajawa, daerah ini memang dikenal sebagai penghasil kopi di Indonesia. Memiliki karakteristik kopi yang khas, sehingga tak heran jika KED Bajawa memilih basis produksi kopi. Usaha ini disambut baik oleh pihak lain yang melihat potensinya dan ingin ikut berinvestasi mengembangkan produk mereka. “Tapi ini masi proses, masih baru, belum tahu seperti apa perkembangannya sekarang,” sambungnya.

Di Colol, Manggarai Timur, juga membuat produksi kopi kemasan. Memanfaatkan market place (shopee) sebagai ruang pemasarannya. Juga memasarkan produknya ke sebuah art shop di Labuan Bajo.

Sementara dua KED lain, yaitu Manggarai Barat dan Lembata urung melakukan produksi karena dinamika di internal KED. Yang dalam perjalanannya, dukungan dana langsung untuk produksi diubah menjadi aksi iklim. Di Manggarai Barat, membuat tarian kreasi baru yang membawa pesan isu lingkungan dan dibuat filmnya. Sementara di Lembata, membuat diskusi tentang dampak perubahan iklim di Lembata.

Mengingat jangka waktu pelaksanaan program yang hanya lima bulan, dari September 2024 hingga Februari 2025, untuk memastikan program ini berjalan baik, KEF membuat tim berjumlah tiga orang untuk mengawal dan melaporkan setiap kerja programnya, begitu juga dengan Koalisi KOPI yang ikut serta melakukan pendampingan.

Gambar 2. Eda mengenakan baju adat dalam pembukaan Jambore GRUF

Menurut Eda, pendanaan langsung seperti ini penting bagi KEF dan KED. Ini bisa dibilang sebagai modal awal untuk mendorong kemandirian organisasi. Di mana sebagian dari keuntungan hasil produksinya bisa digunakan untuk membiayai aktivitas organisasi dalam melakukan kampanye atau aksi-aksi iklim. Sehingga gerakan aksi iklim orang muda oleh KEF dan KEF tidak bergantung pada donor semata.

Jadi, basis produksi yang didukung oleh NLGF tidak sekadar untuk aktivitas ekonomi saja. Tapi, juga mengaitkan dengan isu perubahan iklim atau melakukan aksi-aksi iklim. Contoh yang disampaikan Eda adalah KED Alor yang menanam terumbu karang. Usaha ekonominya adalah muncul pariwisata, tapi di sisi lain ini adalah langkah awal dari sebuah upaya konservasi alam.

“Setidaknya nanti kita punya modal sendiri untuk membuat aksi iklim walau kecil. Misal kalau mau bikin diskusi ada uangnya, atau mau kirim anggota pergi ke acara KEF ada anggarannya. Sehingga tidak menggantungkan pada pendanaan program VCA Indonesia atau donor lain,” katanya dengan optimis.

Di akhir obrolan, Eda bercerita tentang berbagai tantangan dalam melaksanakan program ini. Mulai dari pengalaman yang baru dalam mengelola dana dengan kebutuhan administrasinya, hingga kesibukan kegiatan KEF yang banyak. Jambore GRUF hanya salah satunya, belum lagi respons KEF dalam aksi relawan meletusnya Gunung Lewotobi. Baginya, dukungan apapun harus diterima oleh orang muda, walau tetap dipilah-pilah mana dukungan yang akan membuat mereka bisa bertumbuh dan sesuai dengan prinsip dan nilai KEF dan Koalisi KOPI terkait aksi iklim yang berkeadilan.

Di akhir obrolan, Eda menyampaikan satu pesan. “Titip salam kepada mama dan papa di kampung. Saya ditulis di media internasional,” ujarnya sembari terkekeh bercanda.

***

Di warung itu ikut duduk bersama kami, Arti Indallah, program manajer VCA Indonesia dari Yayasan Humanis. Ia datang menyusul, sekadar duduk bersama menikmati teh jahe. Ia tak ikut bertanya, hanya ikut tertawa tiap kali Eda berkelakar, sembari asyik mengedit video acara Jambore GRUF untuk dia unggah di akun Instagramnya.

Tapi, di lain kesempatan, ketika sudah kembali ke Jakarta, sudah tak lagi tidur di tenda dan kembali menikmati kasur empuknya, ia bercerita tentang bagaimana Yayasan Humanis mengambil peran sebagai penyambung komunitas di jaringan VCA yang telah ada dengan pengelola dana NLGF yaitu The Samdhana Institute. Menjadi perantara untuk mendorong lebih banyak komunitas bisa mendapatkan pendanaan yang lebih besar dan langsung terkait aksi iklim.

“Memberi informasi, rekomendasi, catatan, dll. Juga menjadi tempat buat koalisi-koalisi yang ada di VCA Indonesia untuk berkonsultasi,” ujarnya.

Dukungan langsung pada KEF dan Koalisi KOPI, baginya sangat penting. Bukan semata soal uang, tapi lebih ke akses komunitas-komunitas lokal untuk bisa mendapatkan pendanaan langsung bagi aksi iklim yang mereka lakukan. Ia berharap bahwa dukungan NLGF ini benar-benar bisa menjadi modal awal untuk kemandirian komunitas dalam melakukan berbagai aksi iklim di daerahnya masing-masing.

newsletter